Sabtu, November 22, 2008

ASAP sama dengan TKI

Oleh : Kabelan Kunia*

Artikel belum pernah dimuat di harian manapun, karena faktor tertentu sulit untuk diterbitkan.

Seorang teman bertanya, apa perbedaan asap dengan TKI? Meski judul tulisan ini mengisyaratkan jawaban atas pertanyaan tersebut, sesungguhnya saya tidak tahu persis hubungan kedua kata yang sempat mencuat akhir-akhir ini di samping permasalahan bom di Bali yang menggegerkan seantero plus tuduhan yang menyudutkan mengenai sarang teroris yang bercokol di Indonesia oleh sang adikuasa, teroris sesungguhnya. Menurut saya dari segi makna pun kedua kata ini tidak mungkin dapat disamakan atau paling tidak dikaitkan satu sama lainnya. Celakanya, teman saya bersikeras menggali jawaban dari saya kendati dengan tegas saya mengatakan tidak dapat menjawab atas pertanyaan anehnya. Saya tahu persis, teman saya mengajukan pertanyaan dengan maksud bercanda atau iseng, namun tak ayal kepenasaranan saya tergelitik.

Setelah meminta penegasan bahwa saya benar-benar tidak tahu, teman saya ini dengan mimik serius bak komentator ulung menjawab atas pertanyaannya sendiri.

Dia berujar, asap dan TKI sama-sama made in Indonesia. Produk unggulan yang dibuat di Indonesia dan oleh orang ‘pribumi’ pula. Kemudian diekspor ke negeri tetangga atau negeri manapun yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat dengan produk kebanggaan kita ini.

Aku tercenung dengan jawaban sahabat satu ini. Aku merenung, jikalau ekspor andalan ini meningkat setiap tahunnya, betapa kayanya bangsa ini, karena tingginya nilai ekspor, sehingga sumber devisa akan mengalir deras ke negara tercinta yang dirudung krisis. Apa lacur, ekspor yang kian gencar, tiba-tiba tertolak di berbagai negara pengimpor, utamanya negara “Bung Kecik” yang memulangkan komoditi ekspor kita. Ratusan, kalau enggan disebut ribuan TKI dipulangkan dengan rusuh ke negara asalnya.

Hidup mereka terkatung-katung. Stempel sebagai pengungsi, tak pelak membuat mereka kian terasing dan terusir. Beban begitu berat mesti terpikul dengan berat hati. Pulang ke daerah asal, bukan alternatif yang dirundukan, bahkan terlintas dalam pikiran pun tidak, karena tidak memberikan harapan yang lebih baik. Menyeberang kembali ke negara rantau, berjibun permasalahan siap menghadang. Sekurangnya ayunan cambuk ‘polis Malaysia’ siap dipecut bak kusir delman menghantam sekujur tubuh yang ringkih.

Belum usai benang kusut ketenagakerjaan kita terurai, alam pun tak pula menunjukkan kekaribannya. Panas menggeliat, hutan diberangus. Asap membumbung di jagad merah. Kelam, seantero gelap gulita dipayungi asap pekat menghitam.

Ironisnya, asap yang penuh sesak tak cukup sekedar menyelimuti dua pulau besar Sumatera dan Kalimantan saja. Asap melayang-layang di udara, hingga mengembara jauh ke negeri seberang. Asap yang kita produksi tiap tahun, karena banyaknya bahan baku berupa hutan menghijau luas, tak dinyana disambut pula dengan aksi protes dan kecaman yang mendalam dari negeri sahabat. Saya enggan mengatakan efek dari ekspor asap yang makin gencar, maka ekspor andalan yaitu, TKI distop bahkan yang sudah ada dikembalikan dengan aniaya.

Tak habis pikir, konon katanya negara kita memiliki kekayaan akan sumber daya alam (sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan pernyataan ini, karena selama ini membuat kita terbuai dan lupa diri), hutan subur merimba, air jernih mengalir dan manusia yang berjibun hingga ratusan juta bilangannya. SDA yang potensial tak kita gali potensinya. Namun hutan yang lebat kita babat, air yang jernih dibuat keruh, manusia sebagai sumber daya tidak kita berdayakan.

SDM meruah, berbanding terbalik dengan SDA yang kian terkikis. Akibatnya dengan dalih sumber devisa, SDM kita ‘jual’ dengan harga murah karena desakan perut yang keroncongan.
Hutan sebagai potensi alam dan penyeimbang alam raya, dibumi-hanguskan secara semena-mena. Asap melambung dan mengembara serta menyeruak kemana-mana.

Karenanya kita dipermalukan dua kali. Asap, sebenarnya bencana yang seringkali terjadi dan kerap membuat isu besar tahunan sejak 1997. Anehnya seringkali kejadian ini menimpa, kita kerap kali lupa menangani, malah semakin membuat kita malu, karena tidak bisa atau kita berlaku seperti tak terjadi apapun. Akhirnya musibah seperti tak aneh, lumrah dan biasa saja bilamana berulang menimpa. Sistem imun kita bekerja cepat sekali. Begitu kejadian bencana datang, seringkali hadirnya membuat kita kebal dan nyaris tak terusik. Kita tak hirau dengan orang lain yang terusik.

Celakanya kita balik menuding dan mencari kambing hitam. Lagu lama disenandung, sementara para pengungsi di Nunukan menjerit, lapar dan dahaga bahkan buang air pun sudah tak mampu. Inilah potret rendahnya martabat negara dan bangsa Indonesia di mata dunia. Kita sendiri yang telah merendahkan martabat negara dan bangsa dengan ditandai lambatnya respons pemerintah mengatasi kejahatan proses deportasi dan ‘legalisasi’ praktek perbudakan anak bangsa.

Umur kemerdekaan belum berhasil mengikis budaya perbudakan. Gampang sekali kita membeli nyawa dengan harga yang tak terkonversi oleh dolar. Perasaan keringat mereka makin deras mengucur dengan imbalan tak layak. Terlalu berat taruhannya.

Secara emosional kita menuding dan mempersalahkan pemerintah Malaysia. Karakter nepotis dan sentimental terekspresi, “masak sih, Malaysia yang satu rumpun dan tetangga, tega-teganya mengusir dan mengayun cambuk kepada warga kita di sana. Bukankah orang-orang kita telah menggairahkan perekonomian negara mereka. Sebagai buruh, mereka berjasa
menjalankan pabrik-pabrik. Pun sebagai PRT, mereka berperan menjaga rumah dan makin mengangkat simbol kebangsawanan rakyatnya”.

Rupanya cermin telah banyak kita pecahkan. Bom di berbagai tempat telah meluluh-lantakkan rangkaian cermin hingga berkeping-keping. Karenanya kita sangat jarang bahkan kerap absen untuk berkaca. Wajah bangsa yang kusut, sumpek dan jarang mandi sulit teramati. Tak ayal membuat kita lupa diri, angkuh dan merasa tidak pernah salah sedikit pun. Pasti selalu ada yang mesti salah. Selanjutnya, kita tak pernah berubah !

Sesungguhnya asap dan TKI benar-benar telah menjatuhkan derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Semuanya adalah musibah dan bencana yang cikalnya telah kita awali. Seyogyanya kita renungi bersama. Mulailah kita menyusun dan menata cermin dalam barisan yang sepatutnya. Ketika bencana telah melanda, hendaknya kita mulai berkaca, mengamati kesalahan, kelalaian bahkan kebodohan kita sepanjang waktu terurai.

Bercermin pun kiranya tak cukup untuk membabat masalah yang tumbuh subur di lahan kering kerontang. Niat untuk bersikap lebih jujur dan bertangung-jawab sebagai bangsa kiranya patut kita tumbuh kembangkan untuk meredam emosi bangsa yang kian tercabik-cabik. *****

*)Kabelan Kunia, Researcher at Biotechnology Research Center ITB.

Tidak ada komentar: