Selasa, Februari 08, 2011

Mengapa Harus Berhenti Makan Nasi???

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mendorong masyarakat di provinsi Jawa Barat untuk doyan singkong dan bahan makanan nonberas untuk konsumsi karbohidratnya. "Berdasarkan hitungan, bila masyarakat Jabar tidak makan nasi sehari saja akan menghemat setara panen padi seluas 3.000 hektare. Sebuah angka fantastis," kata Heryawan (Republika, Kamis, 20 Januari 2011)

Penulis kaget dengan anjuran Gubernur ini. Kenapa rakyat 'dipaksa' memakan selain beras, padahal jelas-jelas  nenek moyang kita dulu makanan pokoknya adalah beras. Alih-alih mendorong peningkatan produksi beras, malah mengalihkan konsumsi keseharian masyarakat kepada singkong, jagung atau komoditi pangan lainnya. Sebagai bagian dari program diet atau terapi penyakit semacam diabetes, penulis setuju akan anjuran puasa makan nasi ini.

Siapa yang diuntungkan dengan kebijakan ceroboh semacam ini? Oh, tentunya para inportir akan tertawa dan mengeruk keuntungan dengan program substitusi pangan ini. Bayangkan, lebih dari 50 persen kebutuhan akan jagung dan gandum dipasok dari luar melalui kebijakan inpor yang menguntungkan segelintir orang plus para koruptor pada instansi-instansi terkait. Kebijakan ini tentunya menyuburkan para koruptor bejat di negeri kaya ini.

Penulis teringat, konon pernah ada program semacam ini di Indonesia bagian Timur. Masyarakat di sana yang keseharian mereka mengkonsumsi jagung, dianjurkan memakan beras. Dalam tempo yang tidak lama, akhirnya masyarakat terbiasa memakan beras dan mulai pandai bercocok tanam padi. Seiring dengan perubahan iklim dan kerusakan tanah, tanaman padi mereka mulai menyusut produktifitasnya disamping secara ekonomi nilai beli mereka terhadap beras makin tidak terjangkau. Dilematis sekali hidup mereka, ketika harga beras mahal, mereka tidak mampu untuk membeli. Untuk kembali ke konsumsi jagung atau gandum, lidah mereka sudah tidak familiar lagi dengan pangan ini dan anak keturunan mereka pun ogah dengan mengkonsumsi jagung atau gandum.

Kalau Gubernur menyebutkan bahwa tingkat ketergantungan penduduk Indonesia terhadap konsumsi beras aalah tertinggi di dunia, yakni 130 kilogram per kapita per tahun, sedang di Jawa Barat sendiri tingkat konsumsi berat mencapai 105 kilogram per kapita per tahun, maka yang harus didorong oleh pemerintah adalah meningkatkan produksi beras nasional bukan sebaliknya memaksa rakyat berhenti makan beras karena produktifitas padi menurun. Logika macam apa ini???
Pupuk hayati EvaGROW memberikan SOLUSI untuk Pertanian Indonesia
Kita tentu sedih dan miris dengan konsep pembangunan pertanian kita dewasa ini. Secara diam-diam dan terus-menerus penulis terus membina dan membimbing petani padi di beberapa daerah. Penulis sangat yakin dengan produktifitas padi yang semakin meningkat dan terus membaik seiring dengan intensifikasi proses yang baik dan terstruktur. Hadirnya pupuk hayati EvaGROW dan ORGANODegra sebagai bioaktivator kompos berkualitas, produktivitas padi akan semakin meningkat dengan pola tanam yang mudah dan murah. Pengembangan padi organik yang senantiasa disosialisasikan kepada  petani, terbukti saat ini mampu menghasilkan minimal 10 ton GKG (Gabah Kering Giling) per hektar dalam setiap musim tanam
.
Padi Organik dengan aplikasi EvaGROW di Cianjur
Bayangkan kalau semua lahan sawah yang tersisa di Jawa Barat yang hanya tinggal 1,7 juta hektar (Bapeda Jabar) dikalikan dengan produksi 10 ton per hektar, maka akan dihasilkan beras sebesar 17 juta ton. Bandingkan dengan produksi beras di Jawa Barat saat ini yang hanya mencapai 2,1 juta ton GKG saja.

Panen Padi organik di Desa Laksanamekar, Padalarang. Produksi 10 ton/ hektar.
Dalam hal ini pemerintah harus mengkaji dampak sosial dan budaya masyarakat kalau saja anjuran berhenti makan beras ini diterapkan. Program intensifikasi proses budidaya padi organik yang sudah dilakukan selama ini terbukti membawa hasil yang signifikan terhadap peningkatan produksi beras. Pada akhirnya stok beras akan tersedia sepanjang tahun, tanpa perlu melakukan impor dan menggulirkan program diversifikasi pangan secara drastis dan tidak terukur. Harga beras organik di tingkat petani bisa mencapai Rp 7.500 per kilogram. Harga ini sudah barang tentu dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan lebih manusiawi dibandingkan dengan pola yang saat ini banyak beredar di pedesaan.

Akhirnya penulis mengajak kepada kita untuk setia memakan beras, terutama beras organik yang lebih sehat. Majulah Petani Indonesia... MERDEKA......!!! (Kabelan Kunia/EvaGROW)