Minggu, Mei 30, 2010

Richard Martin Willstatter, Anak Penjual Tekstil Penemu Klorofil

Oleh : Kabelan Kunia*
Artikel Penulis ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Kamis, 30 Juni 2005

Photo : Richard Martin Willstatter
Klorofil berperan melakukan fotosintesis (menyerap dan menggunan energi sinar matahari untuk menyintesis oksigen dan karbohidrat dari CO2 dan air) pada tumbuh-tumbuhan. Fotosintesis tidak hanya penting bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tetapi juga bagi manusia, karena sebagian besar kebutuhan gizi berasal dari tumbuh-tumbuhan. 

Klorofil memiliki hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam komposisi yang seimbang. Selain kaya dengan zat anti peradangan, antibakteri, antiparasit, antioksidan dan zat-zat berkhasiat obat lainnya. Berbagai penelitian masa kini sudah membuktikan, mereka yang lebih banyak mengonsumsi makanan tinggi klorofil memiliki kualitas kesehatan yang lebih baik.

Klorofil merupakan satu-satunya molekul yang dapat diterima oleh tubuh, karena kesamaannya dengan hemoglobin, sehingga potensial dalam meningkatkan ketahanan tubuh kita.

Seorang eksperimentalis berbakat, Richard Martin Willstatter yang mempelajari komposisi kimia butir hijau daun (klorofil) dan pigmen lain telah mempelopori penelitian terhadap produk alami, terutama butir hijau daun dan antosianin (pigmen tumbuhan). Atas dedikasi dan keberhasilannya, sehingga dihargai hadiah Nobel pada tahun 1915 dalam ilmu kimia.

Penelitian yang dilakukan Willstatter memiliki arti yang sangat penting dan merupakan hal yang fundamental. Pekerjaannya penuh keberhasilan dan brilian sangat dihormati sebagai pelopor dalam bidang ini. Penyelidikan tentang fotosintesis dan termasuk tentang ilmu pengetahuan alam serta mengenai aktivitas enzim merupakan pelopor dalam kajian biokimia modern. 

*****
 Richard Martin Willstatter dilahirkan di Karlsruhe, Jerman pada 13 Agustus 1872 sebagai putra kedua dari pasangan Max dan Sophie Ulmann Willstatter. Bapak Willstatter adalah seorang pedagang tekstil dan keluarga ibunya memiliki bisnis tekstil.

Sebagai anak muda yang tekun, ia belajar mengenai struktur dan sintesis alkaloida tumbuhan seperti atropin dan kokain. Kemudian beliau banyak meneliti mengenai pigmen pada tumbuhan dan binatang. Pekerjaan yang beliau lakukan sangat didukung penuh pihak universitas. Laboratorium tempatnya melakukan riset memberikan peluang tak terbatas untuk melakukan penelitiannya. Hingga suatu ketika beliau menerima penawaran yang pertama sebagai guru besar yang diterimanya pada musim panas 1905. 

Willstatter memperoleh gelar doktornya dari Universitas Munich (1894) atas kerjanya pada struktur kokain. Saat bekerja sebagai asisten Adolf von Baeyer di Munich, ia melanjutkan penelitian tentang struktur alkaloida dan beberapa turunannya. 

Pada tahun1905 ia diberi jabatan guru besar di Universitas Zurich dan mulai aktif melakukan penelitian mendalam mengenai butir hijau daun. Ia menerangkan struktur dan menunjukkan, pigmen darah heme memiliki kemiripan struktural dengan campuran porfirin yang ditemukan pada butir hijau daun. Beliau terus melakukan penelitian untuk mengungkapkan struktur dari berbagai pigmen bunga dan buah-buahan. 

Pada tahun1916 Willstatter berhasil menggantikan Baeyer di Munich. Sepanjang tahun 1920-an ia menyelidiki mekanisme reaksi enzim. Pada tahun 1924, Willstatter berhenti dari Universitas Munich karena melakukan protes terhadap gerakan anti-Semit. Tindakan ini sangat menghambat aktivitas penelitiannya. Pada tahun 1939 kebijakan anti-Semitik dari Reich III memaksa dia untuk pindah ke luar negeri, yaitu ke Switzerland, dimana ia menghabiskan sisa hidupnya di sana.

Selama tujuh tahun keberadaannya di Switzerland yang dianggap tempat paling penting dan terbaik, ia menikmati pekerjaannya. Ia habiskan masa-masa hidupnya sampai suatu ketika ia ditelefon untuk pulang kembali ke Jerman pada tahun 1912. 

Saat hari peringatan Universitas Berlin, Maharaja Wilhelm yang telah mendirikan suatu organisasi untuk mempromosikan pengetahuan ilmiah di Institut Ilmu Kimia di Berlin/Dahlem, ia ditawarkan suatu Laboratorium penelitian di sana dengan jabatan guru besar kehormatan di Universitas Berlin.

Dua tahun sebelum meletusnya perang dunia pertama ia bersama timnya menyelesaikan penelitian tentang butir hijau daun. Berkaitan dengan itu, guna melengkapi beberapa pekerjaan tentang haemoglobin, beliau menyelesaikan studinya mengenai antosianin, yaitu bahan warna bunga dan buah-buahan. 

Penelitian ini berhubungan dengan pigmen tumbuhan, terutama menyangkut butir hijau daun. Atas keberhasilan yang fenomenal ini, pada tahun 1915 beliau mendapatkan penghargaan hadiah Nobel dalam bidang ilmu kimia. Pada saat yang sama ia memutuskan untuk menerima panggilan dari Universitas Munich dan menjadi pengganti dosen seniornya, Adolf von Baeyer untuk mengajar di sana. 

*****
Karier Willstatter berakhir tragis ketika melawan terhadap meningkatnya gerakan antisemit. Ia mengumumkan pengunduran dirinya pada tahun 1924. Atas kepercayaan fakultas, para siswanya dan menteri dapat menggagalkan rencana ilmuwan tua itu untuk berhenti. 

Ia tinggal di Munich, memelihara kontak hanya dengan para muridnya yang tinggal di institut dan dengan penggantinya, Heinrich Wieland. Penawaran dari dalam dan luar negeri ditolak olehnya. Pada tahun 1938 ia melarikan diri dari Gestapo dengan bantuan muridnya, A. Stoll dan mengatur untuk pindah ke luar negeri, yaitu Swiss. Meninggalkan semua dan membawa beberapa bagian dari barang kepunyaannya.

Willstatter menikah dengan Sophie Leser, putri seorang Profesor di Universitas Heidelberg. Mereka mempunyai seorang putra, Ludwig dan seorang putri, Ida Margarete. Akhir hidupnya dihabiskan di Muroalto dekat Locarno sampai ia meninggal pada 3 Agustus1942, karena serangan jantung. 

Banyak sekali penghargaan yang beliau terima dari berbagai organisasi dan beberapa negara, hingga dalam bagian terakhir biografinya yang ditulis A. Stoll daftar penghormatan dan penghargaan atas dedikasi dan karya sarjana besar ini, tertulis tidak kurang dari tiga halaman.

Willstatter, bagaimanapun mempunyai jasa sebagai orang pertama yang mengenali dan membuktikan fakta, magnesium adalah suatu bagian utuh dari butir hijau daun. Ini merupakan suatu fakta yang berarti penting dari pandangan biologi. 

Ia telah menunjukkan magnesium itu berada dalam molekul butir hijau daun dimana hal ini sangat mirip dengan besi yang terdapat di haemoglobin. Willstatter telah menggunakan keadaan ini untuk menguji butir hijau daun secara lebih luas lagi. 

Penyelidikan dilakukan pada lebih dari 200 tumbuhan berbeda dan menunjukkan, butir hijau daun adalah sama pada semua jenis tanaman.(Kabelan Kunia)

Rabu, Mei 05, 2010

Pelajaran dari Seekor Laba-Laba


Oleh Kabelan Kunia

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
(TQS. Al-Ankabuut, 41)

Bilamana kita memahami dan merenung lebih jauh pada ayat di atas kita pasti membayangkan bahwa keseluruhan isi dalam surat Al-Ankabuut (laba-laba) berisi atau menceritakan tentang laba-laba. Namun sebenarnya tidak demikian. Kita akan mendapatkan bahwa dari awal hingga akhir, surat tersebut memaparkan masalah lain dari persoalan laba-laba. Pada awal surat ini memaparkan tentang ujian-ujian yang diberikan oleh Allah terhadap orang-orang yang beriman dan membicarakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan laba-laba. Di akhir surat disampaikan berita baik kepada orang-orang yang berjihad di jalan Allah niscaya akan mendapatkan hidayah dari-Nya.

Dari 69 ayat pada surat laba-laba ini hanya pada ayat 41 menceritakan perihal laba-laba, bahkan dalam ayat inipun bukan laba-laba yang menjadi aktor utamanya, akan tetapi sarang laba-laba sebagai sabyek yang dijadikan kiasan untuk pelajaran bagi manusia.

Laba-laba termasuk hewan kecil pemangsa. Sarang laba-laba adalah tempat yang paling rapuh. Sarang laba-laba yang berupa jaring-jaring yang terangkai dengan unik dan menarik, ternyata bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan sulit untuk melarikan diri dan pada akhirnya harus rela untuk disergap dan menjadi santapan siang atau makanan penghantar tidur bagi si pemangsa ini.

Banyak serangga yang terperangkap dan menjadi mangsanya. Jangankan serangga yang sengaja ataupun tidak untuk berteduh di sarangnya yang akan dimangsa serta dicabik-cabik, laba-laba jantan pun yang telah berjasa mengawinimya untuk menghasilkan kokon sebagai cikal penyambung keturunnya pun di lahap dengan beringasnya.

Laba-laba kecil yang menetas dari kokon, saling bedesakan hingga dapat saling memusnahkan dan melangggar hak hidup suadaranya yang malang. Begitulah gambaran yang sangat mengerikan dari jenis hewan kecil yang satu ini.

Demikianlah Allah memberikan kiasan berupa sarang laba-laba sebagai suatu perumpamaan bagi mereka yang menolak Allah sebagai pelindung dan pembela yang lain daripada-Nya. Seolah-olah mereka itu berlindung di balik sarang laba-laba untuk mempertahankan diri daripada serangan musuhnya. Sudah barang tentu sarang laba-laba tidak berdaya membela dan menyelamatkan mereka. Bahkan dengan sangat eratnya sarang laba-laba tersebut memintal dan menggulung tubuhnya hingga tiba saatnya sang pemangsa mencabik-cabik tubuhnya, lalu dengan rakusnya menyantap hidangan gratis tersebut.

Di sekitar kita teramat banyak pribadi-pribadi yang tak lebih bahkan sangat menyerupai laba-laba ini. Manusia-manusia yang tidak peduli dan bahkan tak butuh untuk berpikir apa, dimana dan kapan ia harus makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah “siapa yang akan mereka jadikan mangsa.” Demikian tulis M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berkesan, Lantera Hati.

Jikalau kita menengok di sekeliling kita, tidak sedikit orang-orang yang tega “memangsa” teman bahkan saudaranya sendiri demi ambisi dan ego pribadinya. Kilau dunia begitu gemerlap di pelupuk mata mereka, seolah tak ada malam begitu senja menoreh.

Di tengah musibah dan malapetaka yang kini menggenangi sebagian kita yang direnggut pilu, betapa banyak “pemangsa” yang memanfaatkan kesempatan bahkan berebut menikmati buruannya. Mereka menyeruak dan menyusup dalam genangan air yang keruh sembari menyergap “buruannya”, lalu berteriak lantang menuduh siapapun. Kemudian mereka silih tuding dan menyalahkan satu sama lainnya. Tak satupun dari mereka yang merasa berhak untuk dipersalahkan.

Kelamnya langit di atas nusantara bertambah redup manakala tempat kita berlindung “tumbang” tak bertanggung jawab. Sesungguhnya kita telah salah membangun tempat berteduh dan khilaf memilih tempat berlindung. IMF kita jadikan “pelindung”, hingga menambah carut-marut perekonomian bangsa. PBB yang notabene adalah Yahudi (AS) telah kita daulat sebagai tempat “berteduh”, hingga memporak-porandakan tiang-tiang demokrasi dan keutuhan bangsa.

Sungguh, sekali lagi kita telah salah memilih. IMF, PBB, Amerika atau siapapun yang telah kita jadikan pelindung dengan janji diobral untuk meneduhi dan menyelamatkan kita dari keterpurukan, tak lebih bak jaring laba-laba. Begitu kita masuk, lalu terjerat. Semakin kita meronta, ikatannya makin melilit dan kitapun tak berdaya. Dengan leluasa kita diseret dan dicemplungkan bulat-bulat dalam perutnya yang kelaparan.

Bergulirnya masa, kian terangkai ketergantungan kita. Hutang kian tak terbilang plus bunga yang berundak-undak. Kita terhuyung lalu jatuh. Sang “penolong” menghibur dengan dalih pemberian longgar waktu pembayaran ditambah “kado” yang baru. Kita bangkit, tapi tangan kita bertaut kepada kayu rapuh. Semakin kita berpegang, berat tak terbebani, kemudian kita kembali terguling dan tak sadarkan diri.

Ironisnya, kita tidak pernah berpikir atau mungkin pikiran kita telah dimatikan, bahwa tanah dan segala sumber daya yang terkandung di dalamnya telah tergadaikan. Bahkan harga diri kita sebagai bangsa telah tercabik-cabik dan dinjak-injak secara membabi buta.

Kiranya hikmah dari kiasan pada ayat di atas patut kita renungkan. Kita mesti kembali berlindung dalam “rumah”-Nya dan bernaung di bawah “kaki”-Nya. Bukankah Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.?” (TQS. Al-Anfaal, 40). Kita harus menyadari kemampuan dan kekuatan kita. Sebagai bangsa kita sanggup dan mampu untuk tegak menengadah, karena di atas sanalah kuasa-Nya bersemayam dengan Maha Perkasanya. (Kabelan Kunia/ Penulis adalah Peneliti pada PP Bioteknologi- ITB)