Minggu, Agustus 26, 2012

Menelusuri Jejak Sang Proklamator RI

Heni, Fawwaz dan Najla bediri di halaman rumah pengasingan
Ir. Soekarno di  Bengkulu
Bengkulu - Menjelang siang setelah puas menikmati indahnya suasana Pantai Panjang, kami sekeluarga bergegas keluar mencari suasana dan objek lain yang akan dikunjungi. Terfikirkan oleh kami untuk mampir ke rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Konon, di sinilah Bung Karno diasingkan Belanda selama 4 tahun, sejak tahun 1938 hingga 1942. Kami juga berencana berkunjung ke rumah tinggal Ibu Fatmawati yang tidak jauh dari tempat pengasingan Bung Karno. Dari informasi penduduk setempat, jaraknya tidak lebih dari 2 - 3 KM saja.

Selain Benteng Marlborough yang pernah kami kunjungi 2 tahun yang lalu, Rumah Pengasingan Bung Karno menjadi destinasi menarik saat traveling ke Bengkulu kali ini. Sembari merasakan panasnya kota Bengkulu, berwisata sejarah sekaligus bisa bernostalgia dengan perjuangan Bung Karno saat masa penjajahan Belanda.


 Fawwaz, Najla dan Heni, bediri di rumah kediaman Bung Karno
pada waktu pengasingan 
di Bengkulu
Bangunan tua dengan arsitektur art deco jaman baheula yang dikenal dengan nama Rumah Pengasingan Bung Karno ini berada di tengah kota, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta, Kecamatan Gading Cempaka, Bengkulu.  Perjalanan kami dari pantai tadi hanya 10 menit ditempuh untuk sampai di objek wisata sejarah yang menarik ini. 

Kenapa Belanda terkutuk dulu mengasingkan sang Proklamator ke kota ini? Dulunya kawasan ini adalah daerah yang dianggap rawan malaria oleh Belanda. Dengan alasan itulah, Bung Karno dibuang ke tempat ini. Namun bukannya terkena penyakit malaria, Bung Karno malah gencar menyusun kekuatan dan dukungan untuk merebut kemerdekaan.

Selama di pengasingan ini, Bung Karno terus berjuang menularkan semangat pada masyarakat sekitar. Bung Karno juga sempat mendirikan Masjid Jami' di Jalan Soeprapto dan kelompok diskusi ilmiah bernama Debating Cerdas Club. Bung Karno juga pernah mendirikan kelompok sandiwara Monte carlo sebagai media untuk menyusun strategi agar kemerdekaan Indonesia tercapai. Bukti sejarah berupa baju-baju/ kostum yang biasa dipakai kelompok sandiwara untuk pertunjukan tonil tersimpan rapi di lemari dalam rumah sejarah ini. 


Najla,  Fawwaz dan Heni bediri di salah satu kamar dalam rumah
pengasingan 
Ir. Soekarno di  Bengkulu

Awalnya, rumah ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa, Lion Bwe Seng. Halamannya cukup luas dan rapi. Pintu dan kusennya pun masih asli dengan desain khas Tionghoa. Di dalam bangunan, terdapat benda-benda bersejarah peninggalan Bung Karno yang masih tertata rapi.


Satu demi satu koleksi terlihat jelas di dalam rumah ini. Kami dapat melihat foto Bung Karno yang sedang berpidato terpajang rapi di salah satu sudut bangunan. Di kamar Bung Karno, terdapat ranjang tempat tidur beliau. Ada juga koleksi surat-surat cintanya kepada Fatmawati. Alkisah, di sinilah Bung Karno mulai merasakan benih-benih cintanya kepada Fatmawati, gadis asli Bengkulu putri seorang guru Muhammadiyah, begitu juga sebaliknya. Melalui rumah pengasingan inilah mereka kemudian menikah. 

Kami juga menyempatkan berfoto di depan sepeda ontel milik Bung Karno yang disimpan rapi dalam boks kaca. Untuk masuk ke rumah Bung Karno ini, pengunjung termasuk kami dikenakan biaya Rp 2.500,- Sayangnya, dengan retribusi yang ada, pengelola tidak berhasil memelihara dengan baik bukti sejarah ini. Sebagai sebuah pembelajaran, terutama buat kedua putri kami, rasanya kunjungan ke rumah pengasingan Bung Karno ini sangat menarik dan begitu berkesan. 

Heni, Fawwaz dan Najla bediri di depan Sepeda ontel milik 
Ir. Soekarno di rumah pengasingannya di Bengkulu

Rumah Kediaman Ibu Fatmawati
Sebelum ke rumah pengasingan Bung Karno, kami terlebih dahulu menyempatkan singgah ke rumah kediaman ibu Fatmawati sebelum menikah dengan beliau. Lokasi rumah ibu Fatmawati cukup dekat dengan rumah pengasingan Bung Karno yang berjarak kurang lebih 600 meter, atau  tepatnya berada di Jalan Fatmawati. 

Rumah berwarna coklat dan berbentuk rumah panggung yang merupakan ciri rumah tradisional masyarakat Sumatera. Seperti rumah pengasingan Bung Karno, di rumah ini kami menemui banyak perabotan dan barang-barang milik Ibu Fatmawati yang mengandung nilai sejarah, termasuk mesin jahit yang dulu digunakan untuk menjahit bendera merah putih yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Rumah bersuasana hangat dengan dominasi warna cokelat tua ini banyak menyimpan kenang-kenangan Ibu Fatmawati sejak masa kecil hingga gadisnya. Aku dan istri menyempatkan berfoto di samping ranjang di kamar ibu Fatmawati. Di ruang depan, terpampang foto bapak bangsa, Ir. Soekarno. Najla dengan penuh semangat sembari mengepalkan tangan kanannya berteiak 'Merdeka", berfose di depan foto Bung Karno yang gagah perkasa. Semoga putri kecil kami kelak menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya seperti Ir. Soekarno, amin... (*Kabelan Kunia, Bengkulu 26/08/12)
Soerkano Kecilku, Najla Haifa Zaizativa Kunia
Aku dan istri berdiri di samping ranjang  Ibu Fatmawati 

Sabtu, Agustus 25, 2012

Menikmati Indahnya Pantai Panjang Bengkulu

Merasakan pesona Pantai Panjang Bengkulu
Pantai Panjang - Bengkulu, Menjelang mghib, kami tiba di Kota Bengkulu. Takut melewatkan matahari terbenam (sunset), aku bergegas membawa mobil langsung menuju Pantai Panjang  yang hanya berjarak 1.5 km dari pusat kota.

Pantai panjang adalah objek wisata yang sangat eksotis karena hamparan pasir putihnya yang masih alami dapat membuka inspirasi akan kebesaran yang maha kuasa. Pantai ini tepatnya berada disebelah barat Kota Bengkulu, sehingga suasana menjelang terbenamnya matahari menjadi momen yang banyak ditunggu dan dinikmati. 
Najla Haifa Zaizativa Kunia bermain pasir

Setelah sejenak menikmati senja merah di pinggi pantai, kami bergegas mencari tempat menginap. Di sekitar kawasan pantai banyak ditemui penginapan dengan tarif yang relatif dapat terjangkau. Akhirnya kami menginap di Hotel Pantai Panjang. Cukup murah, tapi nyaman. Di sepanjang pantai juga kita dapat menikmati pangan khas Bengkulu, tapi sudah penuh. Akhirnya malam ini kami hanya bisa menikmati mie aceh di tengah kota Bengkulu.


Heni, Najla dan Fawwaz berjemur di pagi yang indah
Setelah pulas beristirahat di hotel yang cukup nyaman dan bersih, pagi hari ini kami segera menuju pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotel. Hanya berjarak sekitar 100 meter, kami sudah bisa menikmati indahnya Pantai Panjang dengan pasir putihnya yang lembut. Deburan ombak sesekali menyapu telapak kaki.  Beberapa kali deburan ombak berhasil merobohkan istana pasir Fawwaz dan Najla. Seperti tidak bosan, keduanya kembali membangun istananya dengan antusias.
Najla dan Fawwaz menikmati Pantai Panjang nan indah