Minggu, September 12, 2010

Pengalaman ke Lapas

Lebaran kedua (Sabtu, 11/09/2010) kami diajak oleh kakak ipar untuk menjenguk adiknya yang tekena musibah di Lapas kelas I Kabupaten Musi Rawas di Kota Lubuk Linggau. Jujur, ini adalah pengalamanku untuk pertama kali berkunjung ke lapas. Dalam bayanganku, seperti dalam film-film, lapas pastinya dipenuhi oleh narapida mulai dari kelas maling ayam, sampai pembunuh, pemerkosa bahkan koruptor. Tapi, karena di tingkat Kabupaten tidak ada KPK, aku fikir pasti tidak ada tahanan kasus korupsi. Faktanya, di instansi-instansi pemerintah di daerahku ini banyak sekali bercokol para kuruptor yang hidup bebas dan dengan leluasa mengeruk uang rakyat. Alasannya sepele, karena mereka jauh dari pengawasan KPK yang hanya ada di Jakarta sono.


Kami datang jam 12.30 WIB. Menurut petugas di sana, kami harus menunggu sampai jam 13.00 WIB karena saat ini jam istirahat dan petugasnya akan mengalami pergantian. Nah, sambil menunggu, kami disarankan membeli tiket masuk dulu. Seorang membayar Rp 5.000,- Rombongan kami ada 5 orang, termasuk aku, jadi kami harus merogoh kantong sebesar Rp 25.000,-. Kami fikir sampai di sini beres semua, kami tinggal dipanggil dan masuk....

Setelah menunggu 1 jam, kami dipanggil untuk masuk sesuai dengan nomor urut di tiket. Tapi, anehnya setelah kami antri, ternyata semua pemegang tiket nomor urutnya sama, yaitu nomor 1. Ah, aturan macam apa pula ini.... Ok, biar tidak panasan, kami mengalah dan mengikuti aturan yang petugas buat. Setelah dipanggil, kami masuk dan diperiksa termasuk tidak boleh membawa HP, senjata dll. Setelah KTP salah satu dari kami ditinggalkan, kami tiba-tiba dimintai lagi uang masuk sebesar Rp 25.000,-. Awalnya kami menolak, alasannya karena diloket pendaftaran kami sudah membayar dengan jumlah yang sama. Alasan kami tidak digubris oleh petugas yang sok galak dan berkuasa. Dengan terpaksa kami merogoh kantong lagi.

Seterusnya kami disarankan melapor ke pos 1 dekat pintu masuk aula pertemuan. Di sana kami disambut lagi oleh 'petugas' (ternyata adalah tahanan yang akan berakhir masa tahanannya). Kami ditanya mau ketemu siapa dan hubungannya apa. Kami lagi-lagi dipinta uang tanda masuk sebesar Rp 5.000,-. Ok, dengan terpaksa dan ngedumel berat kami bertransaksi lagi. Selanjutnya kami masuk ke sebuah ruang aula dimana di situ sudah banyak pengunjung yang bertemu dengan saudara, anak, suami yang menjadi tahanan di sana. Ada puluhan narapidana yang diberi badge/ tanda pengenal khusus tidak henti-hentinya mengawasi lokasi aula.

Kami diterima oleh 3 orang 'petugas' (narapida juga pastinya), kami ditanya lagi mau ketemu siapa dan dipintai uang sebesar Rp 15.000,-. Ah, sudah 4 tempat kami selalu dipintai uang pajak, yang uangnya tidak jelas untuk apa dan siapa. Akhirnya kami ketemu dengan adik kakak ipar yang tersandung masalah sehingga harus bersakit-sakit terdampar di tempat menjijikan dan memuakkan ini.

Yang aku fikirkan adalah, bagaimana para narapidana (usia mereka relatif masih muda) yang berada dalam lapas ini akan menjadi orang 'baik', kalau di dalam lapas sendiri mereka diajarkan dan dididik untuk menjadi 'jahat'. Mereka diajarkan bagaimana 'menjarah' harta dan hak orang lain dengan tanpa malu dan basa-basi. Pelajaran ini aku fikir pasti akan melekat dan terbawa ke pergaulan sehari-hari ketika mereka keluar ke dunia bebas lagi. Nah, ketika mereka bernasib mujur, mereka akan selamat dengan kejahatannya. Tapi bagi mereka yang 'sial', mereka akan terjerat dan pasti akan masuk lagi ke lapas brengsek ini.

Pertanyaan saya adalah : siapa yang membuat sistem semacam ini?? Apakah Bapak Menteri Hukum dan Ham RI mengetahui aturan yang berlangsung di lapas-lapas semacam ini?

Tidak ada komentar: