Rabu, November 17, 2010

Idul Adha, Bencana dan Pengorbanan


Hari Raya Kurban. Pada hari ini kita disyariatkan berkurban, yaitu amalan yang sangat disukai Allah SWT. Menyembelih hewan kurban pada hari ini adalah wujud kesyukuran kita kepada Allah untuk membantu fakir miskin menikmati daging kurban yang disembelih secara serentak di berbagai tempat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Hajj ayat 28 bermaksud: "Maka makanlah sebahagian daripadanya dan Sebahagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir".

Tangis Anak Bangsa
Dalam beberapa waktu terakhir, kita dikejutkan oleh banyaknya peristiwa kekerasan dan keberingasan yang melibatkan para pemeluk agama. Intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian mengenaskan. Ironis, padahal bangsa Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan-sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang amat tinggi. Masihkah ada harapan untuk membangun kehidupan beragama yang damai, rukun, dan saling mengasihi?

Berbeda dengan tahun-tahun berlalu, kini, kita merayakan Idul Kurban dalam duka cita yang mendalam. Langit menangis, kelam mencekam di seantero raya. Noda hitam tercecer di tanah hitam yang kerontang. Jikalau jari jemari kita cukup untuk menghitung noda yang tak terbilang, maka tidaklah itu mampu mengurai tangis kita yang telanjur kikis.

Sementara teroris gentayangan, musibah dan bencana seperti tak lepas membayangi kehidupan kita sebagai bangsa. Banjir besar Wasior dan Tsunami menerjang Mentawai yang menelan korban nyawa dan harta, merupakan tragedi nasional yang mewarnai lembaran sejarah bangsa. Tangis anak negeri seolah tertumpah di sana bersama curahan hujan dan genangan air yang mencoba menutupi atap rumah dan keidupan mereka.

Tidak hanya sampai di sana, di tengah genangan air lumpur panas di Sidoarjo yang tak kunjung surut, hantaman jago merah ganas melahap rumah-rumah, kios-kios di banyak pasar tradisional dan hutan-hutan di berbagai pelosok daerah, sehingga kita terpaksa menjadi pengekspor asap terbesar di dunia. Erupsi dan letusan Merapi membahana menutupi dan membakar semangat kehidupan rakyat di lereng-lereng hingga berkilo meter jauhnya.

Memetik Hikmah
Anehnya, seringkali musibah dan bencana menimpa, kita kerap kali lupa menangani, malah semakin membuat kita malu, karena tidak bisa atau kita berlaku seperti tak terjadi apapun. Akhirnya musibah seperti tak aneh, lumrah dan biasa saja bilamana berulang menimpa. Sistem imun kita bekerja cepat sekali. Begitu kejadian bencana datang, seringkali hadirnya membuat kita kebal dan nyaris tak terusik. Kita tak hirau dengan orang lain yang terusik. Ironisnya, pemerintah menyikapi dingin dan menganggap semua hanya sekedar bencana alam.

Masih adakah air mata kita untuk meratapi nasib bangsa yang diwarnai dengan tinta hitam, kelabu dan pucat tanpa roh ini? Rintihan dan ratapan anak bangsa seolah tak usai menangisi sejarah kelam-mencekam.

Rangkaian musibah tak pernah putus seakan akrab mengangkangi kehidupan bangsa yang kian kusut. Lembar demi lembar telah terbuka untuk kemudian tersobek-sobek, hingga meninggalkan duka nestapa yang mendalam. Genangan duka cita memenuhi haru-birunya hati sehingga sulit utuk bangkit dan beranjak mengarungi lautan hidup dengan ombak yang mengganas. Ketidaksanggupan menyergap, sementara riak bahkan hembusan badai kian menghantam.

Demikian Allah mengingatkan manusia yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah peradaban dunia. Inilah legitimasi atas hasrat mereformasi hati dan kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat suatu bangsa.

Tidak kita pungkiri bangsa ini telah porak-poranda diguncang musibah dan bencana. Rakyat sudah mulai jenuh dan ‘sebel’ dengan keadaan yang tidak pernah sembuh. Bahkan luka itu makin menganga. Kesemerawutan makin kentara. Nurani rakyat kian terhimpit. Tidak dipungkiri ketika tekanan begitu membludak, maka ledakan kemarahan akan makin menjadi dan merata.

Dalam gemuruh bencana di mana-mana, marilah bersama kita merenungi keberlanjutan cita bangsa. Bangsa kita harus bangkit mesti dengan tenaga seadanya.

Sesungguhnya tragedi yang menimpa benar-benar telah menjatuhkan derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Semuanya adalah musibah dan bencana yang cikalnya telah kita awali. Seyogianya kita renungi bersama. Mulailah kita menyusun dan menata cermin dalam barisan yang sepatutnya. Ketika bencana telah melanda, hendaknya kita mulai berkaca, mengamati kesalahan, kelalaian bahkan kebodohan kita sepanjang waktu terurai.

Boleh jadi alam tidak menyapa akrab. Banjir, longsor, badai hingga letusan gunung mungkin akan terus mengusik ketenteraman seiring dentuman bom, granat dan peluru nyasar lainnya. Tentu saja kita tetap optimis bahwa bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang toleran, damai, dan konstruktif. Dan menjadi tugas kita para penganut agama-agama yang berkemauan untuk beragama secara saleh, untuk mendamaikan dan menabur keselamatan demi kepentingan semua umat manusia. (Kabelan Kunia/ Bandung)

Rabu, November 10, 2010

Amburadulnya Transportasi Udara

Siang ini kami akan berangkat ke Kota Jambi. Tiket pesawat Lion Air sudah kami kantongi setelah booking online beberapa hari yang lalu. Memang kami cukup beruntung mendapatkan tiga tiket dengan harga promosi yang tidak menguras kantong.

Seyogyanya pesawat berangkat pukul 10.50 WIB dari Bandara Soekarno Hatta. Setibanya di bandara, dan menunggu di ruang tunggu Terminal 1 bandara, kami mendapatkan info pesawat delay 45 menit dari jadual yang telah ditentukan. Terpaksa kami menunggu dengan sabar. 

Setelah menunggu, nyatanya pesawat Lion Air yang akan menerbangkan kami pun belum kunjung tiba dari penerbangan sebelumnya. Lagi-lagi kami terpaksa menunggu. 

Pukul 13.00 WIB akhirnya kami diterbangkan juga oleh Lion Air menerobos awan menyeberangi pulau Sumatera menuju Kota Jambi. Sejam di udara, akhirnya kami tiba di Bandara Moh. Thaha, Jambi. Sesaat kami menunggu untuk mendapatkan barang bawaan kami yang di bagasi pesawat. Sekian lama menunggu dan semua barang dari bagasi sudah keluar, nyatanya dua barang kami (sebuah ransel dan sebuah kardus) dari bagasi tidak kunjung ada. Setelah melapor ke petugas, kami tahu bahwa barang kami masih tertinggal di Bandara Soekarno Hatta, Tanggerang. Busyet!!! Kok, bisa ya????

Gara-gara Obama

Pagi ini kami menuju Bandara Soekarno Hatta dengan Travel Xtrans. Pukul 10.45 WIB pesawat Lion Air akan menerbangkan kami ke Kota Jambi. Pukul 05.30 tepat kami diberangkatkan dari pool Xtrans di Jl. Cihampelas Bandung. Begitu akan masuk pintu tol Halim menuju tol Bandara, kami dikepung macet yang luar biasa. Ratusan mobil tumpek di ruas tol Halim menuju tol dalam kota dan tol Bandara. Macet yang pastinya tidak dapat diprediksi kapan terurainya.
Konon, karena kehadiran Mr. Obama ke Indonesia yang akan menuju Masjid Istiqlal, UI dan Lapangan Udara Halim, sontak membuat beberapa ruas jalan yang akan dilewati akan dicekam macet total, termasuk tol pusat kota dan sekitarnya. Praktis lebih dari 2 jam kami berkutat dalam macet di ruas tol Halim menuju tol Bandara yang relatif lengang. Beruntung supir Xtrans cukup cekatan ketika masuk ruas tol bandara, beliau memacu kendaraannya dengan cepat dan terkendali, sehingga kami bisa tiba di Bandara tepat waktu. Namun rupanya usaha pak sopir menjadi sia-sia, karena ketika tiba di bandara, pesawat Lion Air yang akan menerbangkan kami ke Jambi dijadualkan delay lebih dari 1 jam. Rupanya ini juga gara-gara Obama yang akan segera keluar dari Indonesia dengan segera dari Lapangan Udara Halim sebelum pukul 13.00 ini. 

Waduh, sorry pak sopir Xtrans, usahamu jadi tersia-siakan. Tapi, terima kasih udah ngebut dan tepat waktu kok....
Akhirnya aku juga menjadi korban kehadiran Obama ke Indonesia. Obama datang, macet dimana-mana!!!

Senin, November 01, 2010

Gempa Merapi dan Semangat Kebersamaan


Beberapa waktu terakhir, kita semua sedang berduka. Saudara kita di kota  bersejarah, Yogjakarta dan beberapa wilayah di Jawa Tengah terkena musibah gempa Merapi yang dahsyat.. Tiba-tiba Merapi  'marah', sebuah musibah yang tidak pernah terbanyangkan dalam benak masyarakat, menghantam dan menerjang harta bahkan nyawa-nyawa yang tak berdosa, termasuk sang 'penjaga' fenomenal, Mbah Marijan turut pula menjadi korban dalam sujudnya yang paling dalam dan sangat lama. 

Sangat memilukan menyaksikan mayat saudara kita tergeletak dan terkapar di mana-mana. Banyak anak kecil yang meratap, karena kehilangan ayah dan ibu serta saudara-saudara mereka yang lain. Begitupun orang tua yang meringis, karena anak-anak belahan jiwa tergeletak di bawah puing-puing rumah mereka yang poranda, bahkan ada juga di antara mayat-mayat yang berceceran.

Disini, kita hanya bisa menonton kepedihan saudara kita, tanpa bisa berbuat banyak. Berapapun uang dan sumbangan lain yang kita baktikan buat membantu mereka, kepedihan yang menyesak tidak mungkin dapat hilang dalam hati mereka. Kenangan pahit dan derita yang mendalam senantiasa membayangi ingatan. Nyawa orang-orang yang mereka kasihi telah diambil sebagai syuhada. Harta benda yang mereka kais di bumi Allah dengan keringat bercucuran telah hanyut tersapu prahara.

Kelam mencekam di seantero raya. Mayat syuhada tercecer di tanah hitam yang penuh reruntuhan rumah dan pepohonan. Jikalau jari jemari kita cukup untuk menghitung derita yang tak terbilang, maka tidaklah itu mampu mengurai tangis kita yang telanjur kikis. 

Sementara musibah dan derita rakyat Yogja dan sebagian Jawa Tengah belumlah tuntas, gempa di berbagai daerah telah menghentak dan menimbulkan kecemasan dan trauma yang mendalam, seperti di Kerinci, Padang dan berbagai tempat lainnya. Bencana-bencana yang datang silih berganti merupakan tragedi nasional yang mewarnai lembaran sejarah bangsa. Tangis anak negeri seolah tertumpah bersama curahan hujan dan luapan air yang mencoba menutupi keangkuhan kita.

Rangkaian musibah tak pernah putus seakan akrab mengangkangi kehidupan bangsa yang kian kusut. Lembar demi lembar telah terbuka untuk kemudian tersobek-sobek, hingga meninggalkan duka nestapa yang mendalam. Genangan duka cita memenuhi haru-birunya hati, sehingga sulit untuk bangkit dan beranjak mengarungi lautan hidup dengan ombak yang mengganas. Ketidak-sanggupan menyergap, sementara riak bahkan hembusan badai kian menghantam.

Demikianlah Allah mengingatkan manusia yang menafikan secara tegas ketentuan-Nya dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah peradaban dunia. Inilah legitimasi atas hasrat mereformasi hati dan kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat suatu bangsa.

Tidak kita pungkiri bangsa ini telah porak-poranda diguncang musibah dan bencana. Rakyat juga mulai jenuh dan bosan dengan keadaan yang tidak pernah sembuh dari penyakit yang kita buat sendiri. Reformasi yang kita usung bersama pasca Orde Baru, bagai tak berujung. Gagal dan tidak berhasil menyelamatkan derita anak bangsa. Bahkan luka itu kian menganga.

Dalam gemuruh bencana yang menerpa bangsa kita, marilah bersama kita merenungi keberlanjutan cita bangsa. Bangsa kita harus bangkit mesti dengan tenaga seadanya. Masyarakat kita yang telah terkena bencana, mari kita rangkul dan bimbing untuk menatap masa depan yang lebih baik. 

Sesungguhnya tragedi yang menimpa benar-benar telah menjatuhkan semangat kita sebagai bangsa. Semuanya adalah musibah dan bencana yang dapat kita petik hikmahnya, sekecil bahkan seperih apapun. Seyogianya kita renungi bersama. Mulailah kita menyusun dan menata bangsa ini dalam barisan yang sepatutnya. Ketika bencana telah melanda, hendaknya kita mulai berkaca, mengamati kesalahan, kelalaian bahkan kebodohan kita sepanjang waktu berlalu dan belajar berbuat sesuatu yang lebih baik untuk masa depan bangsa.

Boleh jadi alam tidak menyapa akrab. banjir, longsor, badai, gunung meletus hingga gempa  bumi dan Tsunami mungkin akan terus mengusik ketenteraman kita. Tentu saja kita tetap optimis bahwa bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang toleran, damai dan konstruktif. Dan menjadi tugas kita para penganut agama yang berkemauan untuk beragama secara saleh, untuk mendamaikan dan menabur keselamatan demi kepentingan semua umat manusia. 

Dengan tragedi ini, sekurangnya kita telah membuktikan bahwa kita sebagai bangsa yang memiliki beragam etnis, budaya dan agama, dapat saling berbagi dan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Semangat saling mengharagai dan saling berbagi kesedihan ini, hendaknya membuat kita makin menyadari bahwa bangsa ini harus kita bangun secara bersama-sama pula. Kita harus saling membantu dan berbagi. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari peringatan Allah kali ini. Semuanya bergantung bagaimana kita menyikapinya. 

Memang benar masyarakat yang terkena musibah telah kehilangan segala-galanya, tapi apakah kita cukup hanya meratapi dan menaruh kesedihan itu dalam-dalam. Kita semua harus berbuat di samping mendoakan para syuhada dan masyarakat yang tertimpa musibah dapat kembali bangkit dan melangkah ke depan bersama kita dengan senyum yang merekah, semoga.

*(Kabelan Kunia/ Mengenang saudara-saudaraku di Yogjakarta dan Jawa Tengah, korban gempa Merapi)                    
** Sumber Photo : www.vivanews.com