Kamis, Desember 09, 2010

Selulosa, Sumber BBM Murah

Oleh Kabelan Kunia*
Artikel penulis ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis, 09 Desember 2010

Bahan baku Selulosa berlimpah sebagai BBM Murah
Pemerintah agaknya serius dengan rencana membatasi pemakaian premium bersubsidi. Selama ini premium bersubsidi banyak dinikmati kalangan menengah atas. Pemerintah akan membatasi penggunaannya hanya untuk motor dan angkutan umum. Dengan pembatasan tersebut, pemerintah berharap bisa menekan pemakaian premium bersubsidi sebanyak 4 juta kiloliter. Jika tidak dibatasi, pemakaian premium bersubsidi akan membengkak menjadi 40,5 juta kiloliter dari jatah yang hanya 36,6 juta liter.

Kebutuhan akan ketersediaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dunia. Hingga saat ini bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi utama di dunia (80%), terutama dalam sektor transportasi. Bahan bakar fosil diperoleh dari deposit fosil bumi karena itu merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan jumlahnya semakin hari semakin menipis.

Di Indonesia, pengadaan energi juga masih sangat bergantung pada bahan bakar minyak (BBM), terutama di sektor transportasi (> 99 %). Produksi minyak mentah Indonesia kurang dari 1 juta barel/hari. Itu pun setelah dikurangi biaya produksi, perolehan pemerintah hanya 700.000 bbl/hari (85 %). Ini artinya, masa depan keterjaminan pasokan bahan bakar minyak kita sangat mengkhawatirkan. Penggunaan bahan bakar fosil juga banyak dikritisi karena berdampak negatif bagi lingkungan.

Alternatif
Di samping bahan bakar fosil, bahan bakar minyak dapat diperoleh dari biofuel. Biofuel merupakan sumber bahan bakar yang diperoleh dari senyawa organik nonfosil atau materi biologi melalui proses biokimia, termokimia atau fermentasi. Salah satu contoh biofuel adalah bioetanol yang diperoleh dari biomasa. Bioetanol merupakan bahan kimia yang diprediksi akan menjadi bahan bakar alternatif karena dapat diperbarui dan ramah lingkungan.

Pemanfaatan bioetanol dan biodiesel produksi dalam negeri akan berkontribusi sangat baik tidak hanya pada pemeliharaan keterjaminan pasokan bahan bakar, tetapi juga pada pembukaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan antarindividu dan daerah, peningkatan kemampuan teknologi pertanian dan industri, ataupun pembangunan berkelanjutan. Saat ini etanol telah banyak digunakan dalam berbagai keperluan keseharian manusia, terutama sebagai pelarut (industri), minuman, dan bahan bakar. Sebagai petrol extender bioetanol dapat digunakan dan dapat dicampur langsung dengan bahan bakar konvensional untuk memproduksi biofuel. Pencampuran bahan bakar konvensional dengan bioetanol pada konsentrasi 10% telah digunakan sebagai bahan bakar tanpa mengubah spesifikasi mesin.

Beberapa negara termasuk Brasil, Amerika Serikat, Swedia, Prancis dan India sudah menggunakan gasohol (gasoline-[absolute] alcohol mixture), komposisi sampai dengan 20% v/v, untuk bahan bakar motor bensin. Bahkan, baru-baru ini industri automobil Amerika Serikat telah berencana menggunakan flexi fuelled engines dengan komposisi etanol 85% v/v untuk mesin yang telah dimodifikasi.

Selulosa
Secara umum, bioetanol dapat dihasilkan dari bahan mentah berupa gula, pati, dan selulosa. Produksi bioetanol secara komersial masih menggunakan gula dan pati sebagai bahan mentah. Brasil misalnya, menggunakan tetes tebu sebagai bahan baku utama. Demikian juga Amerika Serikat, banyak mengunakan jagung. Sedangkan gula dan pati adalah sumber makanan sehingga perlu dicari alternatif bahan baku lainnya yang bukan merupakan sumber makanan.

Oleh karena itu, selulosa sangat potensial sebagai bahan baku produksi bioetanol. Untuk mencapai kelayakan ekonomis produksi bioetanol harus digunakan bahan baku yang murah. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi bioetanol di antaranya dari biomasa tanaman. Biomasa yang mengandung selulosa dapat diperoleh dengan biaya rendah serta tersedia di alam dalam jumlah besar. Sekitar 50% senyawa organik di alam merupakan selulosa. Saat ini material yang mengandung selulosa masih dianggap sebagai ampas atau limbah sehingga dibuang begitu saja dengan cara dibakar, seperti jerami padi, ilalang, dan rerumputan. Sumber biomasa berselulosa sangat beragam di antaranya berasal dari penggunaan agrikultur, industri paper-pulp, dan agroindustri.

Selulosa terdapat secara alamiah terutama di dinding sel tanaman, yang menyusun 35% -50% dari total berat kering tumbuhan. Komponen lainnya terdiri dari hemiselulosa (20 -35%) dan lignin (5 - 30%). Selulosa merupakan biopolimer lurus dari 1,4- -D-glukosa (Gambar 1) dan memiliki struktur kristalin yang membedakan selulosa dari polisakarida lainnya. Karena strukturnya yang kompleks, diperlukan suatu sistem enzim kompleks untuk mendegradasi selulosa, yaitu selulase.

Gambar 1. Struktur selulosa

Sistem enzim ini terdiri atas tiga komponen, yaitu endoglukanase, eksoglukanase, dan -glukosidase. Endoglukanase bekerja secara acak memotong rantai selulosa menghasilkan glukosa dan selooligosakarida, eksoglukanase memotong ujung pereduksi selulosa menghasilkan selobiosa, se-dangkan -glukosidase memotong selobiosa serta selooligosakarida lain menjadi glukosa. Proses produksi bioetanol dari selulosa secara garis besar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sakarifikasi atau hidrolisis selulosa menjadi glukosa dan tahap fermentasi glukosa menjadi etanol. Masing-masing tahap menggunakan mikroorganisme yang berbeda (Gambar 2). Proses sakarifikasi (hidrolisis) memerlukan sistem enzim selulase. Tahap ini memakan 40% dari total biaya produksi. Apabila dapat digunakan hanya satu mikroorganisme yang mampu melakukan konversi selulosa jadi etanol, biaya produksi dapat ditekan sehingga bahan bakar lebih murah.


Gambar 2. Konversi selulosa menjadi etanol memerlukan dua mikroorganisme

Mikroba penghasil sistem enzim selulase yang dominan dan telah dimanfaatkan pada industri bioteknologi serta menjadi fokus penelitian selama lebih dari 50 tahun misalnya Trichoderma viride. Mikroba lainnya yang dapat menghasilkan etanol pada proses selanjutnya adalah ragi Saccaromyces, Pichia, Candida, dan bakteri Zymomonas mobilis. Sampai saat ini produksi bioetanol sebagai bahan bakar alternatif masih memiliki hambatan secara ekonomis. Harga produksi bioetanol lebih tinggi dibandingkan de-ngan harga bahan bakar fosil. Harga etanol teknis per liter di pasaran mencapai lebih dari tiga kali lipat dari harga satu liter bensin. (Kabelan Kunia, bekerja di Pusat Penelitian Bioteknologi ITB)***

Tidak ada komentar: