Rabu, Agustus 04, 2010

Ramadhan dan Bencana

Sisa ledakan tabung gas elpiji 3 Kg

Tidak berbeda dengan tahun-tahun berlalu, kini, kita melangkah menuju Ramadhan tahun ini dengan duka cita yang mendalam. Langit menangis, kelam mencekam di seantero raya. Noda hitam tercecer di tanah hitam yang kerontang. Jikalau jari jemari kita cukup untuk menghitung noda yang tak terbilang, maka tidaklah itu mampu mengurai tangis kita yang telanjur kikis.
Sementara teroris gentayangan, musibah dan bencana seperti tak lepas membayangi kehidupan kita sebagai bangsa. Banjir besar di mana-mana yang menelan korban nyawa dan harta, merupakan tragedi nasional yang mewarnai lembaran sejarah bangsa. Tangis anak negeri seolah tertumpah di sana bersama curahan hujan dan genangan air yang mencoba menutupi gedung pencakar langit.

Tidak hanya sampai di sana, di tengah genangan air lumpur panas di Sidoarjo yang tak kunjung surut, hantaman jago merah ganas melahap rumah-rumah, kios-kios di banyak pasar tradisional dan hutan-hutan di berbagai pelosok daerah, sehingga kita terpaksa menjadi pengekspor asap terbesar di dunia. Dentuman letusan tabung gas LPG dari dapur-dapur ibu rumah tangga merajalela menambah suramnya potret kehidupan anak bangsa.

Anehnya, seringkali musibah dan bencana menimpa, kita kerap kali lupa menangani, malah semakin membuat kita malu, karena tidak bisa atau kita berlaku seperti tak terjadi apapun. Akhirnya musibah seperti tak aneh, lumrah dan biasa saja bilamana berulang menimpa. Sistem imun kita bekerja cepat sekali. Begitu kejadian bencana datang, seringkali hadirnya membuat kita kebal dan nyaris tak terusik. Kita tak hirau dengan orang lain yang terusik. Ironisnya, pemerintah menyikapi dingin dan menganggap semua hanya sekedar bencana alam.

Masih adakah air mata kita untuk meratapi nasib bangsa yang diwarnai dengan tinta hitam, kelabu dan pucat tanpa roh ini? Rintihan dan ratapan anak bangsa seolah tak usai menangisi sejarah kelam-mencekam.

Rangkaian musibah tak pernah putus seakan akrab mengangkangi kehidupan bangsa yang kian kusut. Lembar demi lembar telah terbuka untuk kemudian tersobek-sobek, hingga meninggalkan duka nestapa yang mendalam. Genangan duka cita memenuhi haru-birunya hati sehingga sulit utuk bangkit dan beranjak mengarungi lautan hidup dengan ombak yang mengganas. Ketidaksanggupan menyergap, sementara riak bahkan hembusan badai kian menghantam.

Demikian Allah mengingatkan manusia yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah peradaban dunia. Inilah legitimasi atas hasrat mereformasi hati dan kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat suatu bangsa.

Dalam gemuruh bencana di mana-mana, marilah bersama kita merenungi keberlanjutan cita bangsa. Bangsa kita harus bangkit mesti dengan tenaga seadanya.

Tidak ada komentar: