Oleh : kabelan Kunia
Artikel ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Bandung Edisi Jumat, 07 Januari 2005
KETIKA air berjatuhan kian kerap, berarti musim hujan tiba. Sontak kita diingatkan datangnya banjir. Melihat pengalaman, manakala musim hujan tiba, banjir menjadi rangkaian huruf yang senantiasa menghiasi halaman muka koran-koran dan sorotan berita di berbagai media elektronik.
Ketika banjir beringsut surut, mentari menyengat menghantam bumi, musim kemarau pun telah menanti. Kebakaran hutan dan asap yang membumbung menjadi headline di berbagai media. Negeri tetangga mulai kasak-kusuk, menghirup asap yang kita ekspor.
Dari musibah yang terjadi, kerap kita alpa memanfaatkan peristiwa bencana sebagai pengalaman yang berharga. Kita tidak pernah mencoba berpikir proaktif. Belum pernah kita menjadikan semuanya sebagai pelajaran untuk sedini mungkin mencegah bahkan mengatasinya.
Sungguh, Dia yang Maha Memiliki telah menyindir manusia dalam surat Yunus: 24, “…Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.”
Sebagai manusia yang tak memiliki kuasa atas apa pun, kita tidak mengerti benar, apakah musibah yang terjadi, semata-mata merupakan ujian atau azab yang dilimpahkan oleh yang Mahakuasa atas kesombongan dan keangkuhan kita sebagai manusia.
Pertanyaannya adalah kenapa Allah SWT memberikan ujian dan azab itu kepada kita? Sesungguhnya jawaban itu ada pada diri kita sendiri. Setiap kita secara sadar mengetahui jawaban tersebut. Kita sebagai manusia telah berlaku semena-mena terhadap alam yang kita huni. Alam telah kita aniaya sedemikian rupa.
Setiap waktu kita keruk “harta” alam yang melimpah dengan keserakahan dan kesombongan luar biasa. Tidak pernah terlintas dalam rongga otak kita bahwa setiap yang dikeruk dengan membabi-buta, suatu ketika akan habis dan dampak yang tersisa berupa musibah, kecelakaan dan malapetaka pasti akan menghampiri cepat atau lambat.
Nilai Religius
Masalah lingkungan hidup sudah saatnya diangkat sebagai masalah moral keberagamaan (religius), bukan lagi sekadar masalah manajemen. Kerusakan lingkungan lebih disebabkan nilai yang belum dihayati sepenuhnya oleh masyarakat. Tata nilai religius merupakan alat menghadapi krisis lingkungan hidup.
Sejarah-sejarah klasik membuktikan ada korelasi antara keruntuhan sebuah peradaban dengan kerusakan lingkungan hidup. Semua peradaban jatuh karena eksploitasi sumber alam yang berlebihan. Jatuh bangunnya peradaban, merupakan jatuh bangunnya sistem-sistem politik yang memusatkan perhatiannya bagi kebesaran kekuasaannya.
Dari kenyataan itu, penyelesaian lingkungan hidup tidak akan berhasil jika hanya berlandaskan pemikiran duniawi. Harus ada kekuatan dan pendekatan religius. Sudah saatnya menghadapi krisis lingkungan yang parah saat ini, kita mulai mencoba mempertemukan antara akal dan iman. Keberdayaan akal harus dikendalikan dengan keberdayaan teologis (keberimanan). Tanpa keimanan ini, dunia akan dimarakkan oleh kemungkaran dan kerusakan merajalela.
Integrasi antara iman dengan tanggung jawab ekologis tercermin pada peringatan Allah dalam Al Quran Surat Arr-Rum: 41-42. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, sehingga Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Katakanlah: adakanlah perjalanan di muka bumi, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).“
Ayat tersebut memberikan dasar penguatan tentang sifat arogansi dan eksploitasi manusia yang menjadi penyebab timbulnya kehancuran lingkungan. Sedangkan bencana yang terkait dengan kerusakan lingkungan dijadikan sebagai model peringatan (pelajaran) Allah kepada manusia, dengan harapan agar manusia mau melakukan rekoreksi dan menyadari atas kekeliruan-kekeliruannya itu.
Rasulullah pernah bersabda,”Barangsiapa menanam tanaman, dia akan mendapat balasan pahala sesuai dengan banyaknya buah yang dihasilkan oleh tanaman itu.”
Sabda Rasul ini jelas, bahwa manusia yang peduli pada sumber daya alam mendapatkan tempat mulia di sisi Allah. Peduli pada alam itu diwujudkan dalam kehidupan seperti mencegah tangannya dari praktik mengeksploitasi alam tanpa batas, dan tak kalah penting, menggalakkan reboisasi. Pahala yang dijanjikan Allah kepada pencinta lingkungan itu mengisyaratkan tentang betapa eratnya hubungan antara manusia dengan sumber daya alam.
Kita berharap banyak dengan pemerintahan baru, permasalahan lingkungan akan menjadi bagian dari program yang mendesak untuk ditangani secara serius. Kita akan buktikan komitmen presiden terpilih untuk memperhatikan masalah lingkungan.
Bandung, Biotechnology Research Center ITB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar