Oleh Kabelan Kunia
Artikel ini telah dimuat di harian PIKIRAN RAKYAT, Kamis (25 Juni 2009)
Sistem budi daya pertanian di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang mengalami penurunan dalam hal produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Penurunan terjadi mulai dari luas lahan garapan yang kian susut akibat terdesak oleh kegiatan industrialisasi dan perumahan. Produktivitas semakin menukik tajam karena banyak lahan yangg hilang kesuburannya akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak bijaksana.
Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol pasti mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang pesat, dan adanya residu kimia pada hasil panen. Penghematan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mutlak harus dilakukan.
Selain itu, krisis lingkungan karena pencemaran perlu disikapi mengingat dampak negatif yang tidak sedikit bagi manusia dan lingkungan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah harga pupuk dan antihama yang mahal, terkadang langka di pasaran serta faktor kolutif lain. Di antaranya mekanisme pasar yang cenderung memperkaya segelintir orang dan faktor politis yang tidak memihak petani.
Dari aspek pengelolaan air, usaha tani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu, diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usaha tani hemat air.
SRI sebagai solusi
Teknik budi daya padi SRI (System of Rice Intensification) adalah metode yang sangat tepat untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut di atas. Paling tidak ada empat alasan utama perlu dikembangkannya SRI. Pertama, metode SRI terbukti mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi di atas rata-rata nasional. Kedua, SRI juga dapat menghemat penggunaan air sampai 40%. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80%, sehingga dapat mengurangi biaya usaha tani.
Ketiga, SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan. Keempat, metode SRI dikenal ramah lingkungan karena a) memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2, b) memitigasi emisi gas metan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah, c) mitigasi emisi CO2 dan metan (CH4) akan menekan produksi GRK (gas rumah kaca) yang dapat memicu pemanasan global, d) daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari, e) aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah, dan f) produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Mudah dipahami
Berdasarkan pengalaman penulis, metode ini tidak sulit dipahami oleh para petani. Metode ini tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka dapatkan dulu dari para karuhun. Jauh sebelum pupuk dan antihama kimia masuk ke Indonesia, orang tua mereka telah bertani dengan metode yang mirip dengan metode SRI. Orang tua mereka dulu bertani dengan hanya menggunakan sumber daya yang ada di sawah, seperti pupuk dengan menggunakan kotoran hewan, daun, dan sampah. Demikian juga dengan antihama, mereka telah mengenal tumbuhan antihama yang banyak terdapat di ladang atau di sawah.
Faktor penting dalam penerapan metode SRI di sawah adalah penggunaan pupuk kompos. Setiap hektare sawah membutuhkan minimal delapan ton kompos. Kompos dibuat oleh petani sendiri dengan memanfaatkan bahan baku yang ada di sekitar, seperti kotoran hewan (kohe), jerami, dedak padi, rumput, daun, dan sampah rumah tangga.
Proses pengomposan dilakukan selama musim pemeliharaan tanaman, yaitu 3-4 bulan. Ketika musim tanam berikutnya, petani telah memiliki persediaan kompos yang cukup untuk ditaburkan di lahan sawah sebagai pupuk dasar pengganti urea.
Pemberian kompos dimaksudkan untuk membentuk kembali struktur tanah, sehingga bisa berfungsi sebagai bioreaktor yang akan menggerakkan kembali siklus nutrisi dengan peran utama mikroorganisme serta biota tanah.
Dalam sistem persawahan biasa, lahan lebih banyak digenangi air, akibatnya pasokan air yang cukup menjadi penting. Sebaliknya pada sistem SRI, kebutuhan air diperlukan hanya setengah hingga sepertiga dari cara konvensional. Lahan sawah dikondisikan lembap atau macak-macak tanpa digenangi. Hal ini menghemat penggunaan air sampai 60%.
Bibit tanaman padi yang digunakan adalah bibit yang berumur muda, yaitu antara 7-10 hari di persemaian. Kemudian bibit ditanam di lahan sawah dengan jumlah satu bibit untuk satu lubang tanam (dapuran). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi persaingan atau kompetisi dalam mendapatkan hara makanan. Tanam bibit tunggal dan jarang dimaksudkan agar pertumbuhan padi menjadi maksimal, anakan yang dihasilkan menjadi lebih banyak dan sehat. Rata-rata anakan yang dihasilkan lebih dari enam puluh batang. Pertumbuhan ini didukung dengan penyebaran akar yang luas dan kokoh, sehingga memungkinkan akar menyerap nutrisi secara efektif. Sistem ini mengakibatkan penggunaan bibit menjadi lebih sedikit. Untuk satu hektare sawah membutuhkan tidak lebih dari 6 kg bibit.
Penggunaan pupuk kimia tambahan seperti urea, NPK, KCL, dan ZA dalam metode SRI ditiadakan. Karena kita tahu pupuk kimia inilah yang menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah. Sebagai gantinya, petani diajarkan membuat pupuk yang berbasis mikroba dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, seperti buah maja, air kelapa, kotoran ternak, bekicot yang dihancurkan, daun-daunan atau sayur-sayuran. Hasil fermentasi alami dari bahan-bahan ini dapat disemprotkan setiap saat di lahan sawah.
Masalah hama dan penyakit tanaman pada padi dapat dicegah dengan cara pengendalian hama terpadu. Cara ini lebih kepada upaya mengendalikan berbagai unsur-unsur ekosistem di lahan sawah. Cara tanam SRI dapat menekan gangguan hama secara sangat berarti tanpa harus menggunakan bahan kimia antihama.
Menurut pakar SRI dari ITB, Dr. Mubiar Purwasasmita, banyak jenis serangga yang hidup bersama dengan tumbuhnya tanaman padi, namun mereka tidak sempat menjadi hama karena dengan cara saksama kondisi mikro-klimatnya tidak memberi cukup waktu kepada serangga untuk dapat berkembang biak secara leluasa. Serangan keong pun dapat ditekan karena tanah tidak direndam. Kegiatan pengendalian hama terpadu secara mandiri oleh petani memungkinkan terjadinya penghematan dalam penggunaan racun hama kimia.
Proses penyiangan dilakukan lebih dari empat kali. Penyiangan ini dimaksudkan bukan saja untuk menghilangkan gulma tetapi terutama untuk menjaga pasokan udara ke dalam tanah. Pengurangan satu kali penyiangan dapat menurunkan produksi padi hingga 1,2-1,5 ton/ha.
Dalam metode SRI bukan saja tingkat produktivitas padi yang tinggi dapat dicapai tetapi juga meningkatkan struktur dan kondisi lahan sawah serta membaiknya lingkungan hidup biotik di persawahan.
Melalui penerapan metode SRI kita dapat melakukan perubahan untuk peningkatan produksi padi yang lebih tinggi, lebih baik mutunya, lebih sehat dan berkesinambungan, semoga. ***
Kabelan Kunia, penggiat dan praktisi pertanian padi organik SRI Pusat Penelitian Bioteknologi ITB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar