Oleh : Kabelan Kunia*
SBY dan Banjir (Sumber photo: Kompasiana)
Hati kita terenyuh ketika menyaksikan saudara-saudara kita di Situ Gintung yang tertimpa musibah mengenaskan, hantaman air yang diikuti dengan terjangan maut pohon, rumah, lumpur dan bebatuan beberapa waktu lalu. Air bendungan bercampur lumpur membabat harta benda dan nyawa manusia yang tidak pernah membayangkan malapetaka itu akan datang.
Tiba-tiba kita semua tercenung, apakah ini semua ujian atau murka-Nya kepada kita umat manusia?
Kalau kita mau jujur, bencana ini adalah merupakan jawaban yang sama-sama kita patrikan dalam hati kita, meski sebenarnya kita tidak menerima semuanya. Tapi, sekali lagi, kalau kita mau sedikit membuka hati dan kalbu kita, sesungguhnya jawaban itu bergantung kepada kearifan kita. Kiranya kebenaran dari jawaban tersebut adalah tanggung jawab kita semua untuk menindaklanjutinya.
Ketika air yang berjatuhan dari langit kian kerap, berarti musim hujan telah tiba. Ini adalah keniscayaan. Ada kemarau pasti ada hujan. Hujan menurunkan air yang melimpah membasahi permukaan bumi nan dahaga. Kemudian air mengalir di sungai-sungai besar dan kecil bahkan di antara selokan sempit tak terurus di samping rumah-rumah serta merambah di antara sempadan sawah yang kerontang. Perut bumi leluasa meneguk luapan air lewat pori-pori tanah yang kering dan mengangah. Tumbuh-tumbuhan berlomba melahap tetesan air di ujung daun yang kering dan melalui anak-anak akar yang kecut.
Menjelang musim hujan, sontak kita diingatkan datangnya banjir. Belajar dari pengalaman, manakala musim hujan tiba, banjir menjadi rangkaian hurup yang senantiasa menghiasi halaman muka di koran-koran dan sorotan berita di berbagai media elektronik nasional. Kiranya ada korelasi positif yang sangat signifikan antara turunnya hujan dan terjadinya banjir.
Setiap memasuki musim hujan, di Jawa Barat selalu terjadi bencana alam tanah longsor. Bahkan menurut Kepala Sub. Direktorat Mitigasi Bencana Geologi Dr. Ir. Surono, dari seluruh wilayah Indonesia, di daerah yang gemah ripah loh jinawi ini longsor paling sering terjadi dengan korban yang paling banyak. Karenanya menurut beliau, Jabar menempati urutan pertama daerah paling rawan terjadinya bencana alam tanah longsor di Indonesia (Pikiran Rakyat, 18/09/03).
Dengan peta yang ada, ironisnya kerapkali kita alpa memanfaatkan peristiwa bencana sebagai pengalaman yang berharga. Kita tidak pernah mencoba berpikir proaktif, sehingga bencana dianggap tidak lebih dari peristiwa lumrah yang sesungguhnya harus terjadi dan korban dari musibah ini kita anggap sewajarnya karena memang itu suratan takdir yang mesti dijalani. Belum pernah kita menjadikan semuanya sebagai pelajaran untuk sedini mungkin mencegah bahkan mengatasinya.
Bencana banjir menenggelamkan rumah penduduk, merusak jalan-jalan, menumbangkan pohon besar dan kecil, menghanyutkan anak-anak bahkan orang dewasa serta meluluh-lantakkan berbagai fasilitas umum; tiang listrik, saluran irigasi bahkan jembatan besi sekalipun.
Kenapa air jadi seberingas itu? Air yang tenang, lembut dan mengalir hanya berdasarkan alur sungai yang dilalui, tiba-tiba sangat garang dan mematikan. Air berjalan meliuk-liuk menuruni alur dari dataran tinggi ke bagian yang rendah hingga muara sungai pada lautan lepas. Manakala melalui alur yang terjal dan berbatu, air pun berisik menghempas bebatuan kokoh.
Air pun mengalir dengan derasnya dengan suara gemericik bak alunan orkestra alam nan syahdu. Ketika melewati alur yang dalam dan gelap, air pun melenggok gemulai seolah tak ada riak sedikitpun, di daerah ini lalu-lalang mahluk air dan biasanya banyak orang berburu ikan dan mahluk air lainnya. Suatu ketika air harus melewati tebing yang curam dan terjal, air pun terjun meliuk-liuk bak penari kemudian jatuh terhempas pada bebatuan di lembah sembari membercikkan air dan membalurkan pandangan dengan kebulan embun yang memutih.
Kemudian jadilah dia sebuah objek wisata yang menakjubkan dan mempesona mata ketika memandangnya. Sepakat kita menamakannya air terjun.
Sungguh luar biasa pesona yang ditampakkan oleh air ini yang semata-mata adalah keberkahan yang diberikan kepada mahluk-Nya.
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang…..” (QS. Ar ra’d : 17).
Pun dalam surat An Nahl ayat 10 Allah SWT bahkan mengaku bahwa, “Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.”
Sebenarnya kalau kita cermati uraian dan pengakuan Allah SWT pada ayat-ayat di atas, mestinya kita sangat menyadari benar bahwa air yang ‘jatuh’ dari langit kemudian mengalir di sungai-sungai semata-mata buat keberhidupan kita, hewan bahkan tumbuh-tumbuhan. Tidakkah hewan dan tumbuhan pun diciptakan untuk dijadikan pelengkap untuk memenuhi keberlangsungan hidup manusia? Namun, hewan-hewan kita buru dengan aniaya, begitupun hijaunya tumbuh-tumbuhan yang kita lahap untuk memenuhi hajat kita sebagai sang “penguasa” yang lapar lagi dahaga.
Dia yang Maha Memiliki dalam surat Yunus: 24 telah mengingatkan manusia, “…..Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.”
Sebagai manusia yang tak memiliki kuasa atas apapun, kita tidak mengerti benar, apakah musibah banjir yang disebabkan oleh hujan deras mengguyur, semata-mata merupakan ujian atau azab yang dilimpahkan oleh yang Maha Kuasa atas kesombongan dan keangkuhan kita sebagai manusia.
Pertanyaannya adalah kenapa Allah SWT memberikan ujian dan azab itu kepada kita? Sesungguhnya jawaban itu ada pada diri kita sendiri. Setiap kita sebenar-benar dan sesadar-sadarnya mengetahui jawaban tersebut. Kita sebagai manusia telah berlaku semena-mena terhadap alam yang kita huni. Alam telah kita aniaya sedemikian rupa. Setiap waktu kita keruk “harta” alam yang melimpah dengan keserakahan dan kesombongan luar biasa.
Tidak pernah terlintas dalam rongga otak kita bahwa setiap yang dikeruk dengan membabi-buta, suatu ketika akan habis dan dampak yang tersisa berupa musibah, kecelakaan dan malapetaka pasti akan menghampiri cepat atau lambat.
Jadi, sangat wajar bilamana alam kemudian sangat murka. Air yang merupakan bagian dari alam akan meluapkan kemarahannya karena telah diperlakukan aniaya. Kini, air yang tenang-tenang namun menghanyutkan. Menghanyutkan kesombongan manusia yang begitu melampaui batas.
Alam adalah anugerah yang mesti dimanfaatkan sebaik mungkin, bukan hanya sekarang tapi juga buat generasi mendatang. Tidak pada tempatnya kalau lantas alam dianggaap sebagai entitas yang harus dikuasai dan dihabisi, namun harus diakrabi dengan kasih sayang, sehingga tercipta hubungan timbal balik saling membutuhkan dan menguntungkan.
Mudah-mudahan dengan sederet bencana yang mencengkeram kita, membuat bangsa ini makin dewasa dan tanggap untuk mengambil segala tindakan untuk meredam murka jagad yang terusik, semoga (belankunia@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar