Beberapa tahun yang lalu penulis pernah diajak seorang rekan ke Pantai Ranca Buaya, Garut Selatan. Sebuah pantai yang sangat indah namun masih segelintir orang yang mengetahui dan dapat menikmatinya. Penulis merasakan perjalan yang sangat panjang dan melelahkan saat itu.
Kini, kerinduan itu membuncah, penulis sangat ingin kembali menikmati indahnya gemerincik ombak di sela-sela pasir putih yang menyelinap di tapak kakiku yang dingin dan kecut.
Situ Cileunca, Pangalengan |
Agak siang kami berangkat dari Kota Bandung menuju Pangalengan. Di Rumah Makan Bugel, Simpang Banjaran - Pangalengan, kami menikmati makan siang dengan goreng ayam, tumis jamur kuping, ulukuteuk leunca dan goreng tahu/ tempe. Pukul 14.00 WIB kami mulai menyusuri jalan berbukit dan berkelok menuju Kota Pangalengan. Di sisi Situ Cileunca kami berhenti, menikmati keindahan danau nan tenang dan sejuk. Dingin pengunungan mulai menusuk menembus kulit yang menggigil.
Mendung mulai menyergap, kami buru-buru meninggalkan keindahan Situ Cileunca menuju pegunungan yang mulai dipenuhi dengan perkebunan sayuran dan hamparan teh yang menghijau bak permadani membentang. Sejenak kami berdiri di ketinggian, menikmati pesona hijaunya kebun teh dan barisan pegunungan yang melatarbelakanginya.
Di Hamparan Teh, Perkebunan Malabar |
Romantisme masa lalu mulai terkuak. Keindahan dan kemesraan seakan enggan berakhir. Dinginnya udara pegunungan tak menghalangi pesona alam yang terbentang menghampar bumi. Gemericik hujan tak surut mengucap kata indah, Maha Besar Dia yang menciptakan alam sedemekian indah dan menakjubkan.
Sebuah air terjun dari dinding bukit. |
Jalan mulai berliku, menanjak, menurun dan menyempit mulai menghambat laju kendaraan kami. Kecepatan 20 - 30 Km/jam dengan sabar kami jalani menyusuri hutan, kebun, perkampungan kecil dan jurang serta tebing yang sedikit tergerus. beberapa titik teramati jalan yang longsor di bibir jurang yang menganga. Beberapa kami lihat tebing juga terkikis dengan bungkahan batu gunung yang siap untuk ditumpahkan ke permukaan jalan. Kami membayangkan, jika perjalanan ini diiringi dengan curahan hujan, sudah barang tentu bebatuan di lereng tebing akan menghampiri kendaraan kami dan menghalangi perjalanan panjang ke depan.
Jembatan Kuning |
Menyusuri berlikunya jalan yang memang agak sempit, terobati dengan indahnya pemandangan di kiri kanan jalan yang dilalui. Banyak sekali keindahan dan pesona alam yang jarang kami temui dimanapun, Air terjun dari tebing-tebing yang menjulang, hingga sungai-sungai kecil dengan airnya yang mengalir deras namun jernih. Hamparan sawah menguning dan perkebunan sayuran masyarakat sering membuat kami berdecak kagum akan kegigihan masyarakat di lereng-lereng bukit dan gunung yang setiap hari menjaga dan memeliharan kemurahan alam. Kita di kota, cuma bisa menikmati jerih payah dan cucuran keringat mereka tanpa belas terima kasih sedikitpun.
Pantai Sayang Heulang, Garut |
Pukul 19.00 WIB, kami sampai di Pantai. Pantai Ranca Buaya terletak di Kecamatan Caringin atau 102 Km dari pusat kota Garut, suasana yang masih asri dengan aktivitas nelayan, peternakan walet, dan biota laut yang mempesona.
Rencana kami akan menginap di Ranca Buaya. Namun akhirnya urung, kami kembali menempuh perjalan 1 jam lagi menuju Pantai Sayang Heulang. Menurut penduduk setempat, Pantai Sayang Heulang dikenal sangat indah dibandingkan dengan Pantai Ranca Buaya yang banyak batu karangnya. Perjalanan menuju Pantai Sayang Heulang ditempuh dalam gelap malam yang sunyi, tapi jalan sangat bagus, beraspal dan lebar mengarah ke Kota Pameungpeuk. Di persimpangan menuju Pantai Sayang Heulang, kami belok ke kanan dan masuk lebih kurang 500 M menuju bibir pantai.
Dalam kegelapan pantai yang tidak memiliki penerangan memadai, kami akhirnya berhasil mendapatkan sebuah rumah yang disewakan. Rumah dengan fasilitas 2 kamar tidur dan 2 kamar mandi beserta ruang tamu dengan pesawat televisi yang ditawarkan Rp 450.000 per malam. Setelah negosiasi oleh para ibu-ibu, akhirnya kami menginap di sana dengan biaya Rp 400.000 semalam.
Pagi menjelang, kami menikmati indahnya pantai Sayang Heulang nan eksotik. Ombaknya sangat besar dan deras menghantam bebatuan karang di pinggiran pantai. Pasir putih berserakan terbawa ombak yang menjilat pantai. Pantai yang indah, namun sayang sangat itdak terawat dan tidak ada fasilitas yang memadai. Sampah berserakan di bibir pantai. Kondisi dibiarkan seadanya, tanpa ada sentuhan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Jalan-jalan di sepanjang pantai tidak terawat, berbatu dan becek ketika hujan turun. Pemondokan dan tempat makan seadanya, tanpa kenyaman dan keindahan.
Pantai Sentolo dan Perahu Nelayan |
Menjelang siang kami pamit dari penginapan. Kami penasaran dengan keindahan Pantai Sentolo yang berjarak tidak jauh dari Pantai Sayang Heulang, yang hanya ditempuh 15 menit perjalan. Di pantai ini banyak perahu nelayan dan memang terdapat tempat pelelangan ikan yang memadai. Untuk mendapatkan suasana yang indah, kami dianjurkan untuk menyeberang sebuah pulau dengan ongkos naik perahu sebesar Rp 4000/ orang pulang-pergi.
Setelah diseberangkan oleh nelayan, kami tiba di pulau kecil di Pantai Sentolo. Pantai yang sangat indah dan khas. Ombak yang menerjang tidak sampai ke bibir pantai, karena terhalang oleh bebatuan karang di sisinya. Alhasil di bibir pantai, anak-anak bisa bebas berenang tanpa takut diterjang ombak yang memang cukup tinggi dan kencang.
Di atas pulau, banyak sekali batu karang yang besar dan tinggi. Bentuknya sangat khas dan unik, seperti dipahat dan dibuat oleh tangan-tangan seniman. Sebuah keindahan dan Kuasa-Nya tentu. Kami sangat menikmati pesona alam ini. Luar biasa, tidak ada penyesalan ketika kami harus ke sini dengan panas mentari yang menerpa.
Pantai Sentolo |
Siang mulai menghujam ubun-ubun ketika kami harus turun dari pulau eksotik ini. Lapar mulai menyergap, dan bertambah ketika melihat ikan-ikan nelayan berjajar ditawarkan penjual di pinggir-pinggir tempat pelelangan. Lagi-lagi kami menemui kesemerawutan, sampah berserakan, tanpa ada satupun tempat sampah yang memadai tersedia. Tempat istirahat yang tidak nyaman, demikian juga parkir mobil yang seenaknya dilabuhkan oleh tukang parkir yang meminta ongkos Rp 5000/ mobil, dan dibayar di muka pula.
Pantai Sentolo, Garut Selatan |
Tadinya ingin menikmati sajian Sea Food khas Pantai Sentolo. Setelah survey harga di beberapa tempat makan yang ada, kami membatalkan untuk makan siang di sini. Harganya sangat mahal. Masak, harga ikan dan udang di dekat laut sama mahalnya dengan di Bandung yang berada di Gunung?
Setengah menggerutu kami bergegas meninggalkan Pantai Sentolo dangan perut makin keroncongan. Di sepanjang jalan menuju Kota Pameungpeuk, kami masih belum menemukan tempat makan yang cocok dan memadai. Tiba akhirnya setelah melewati Pameungpeuk, kami mendapatkan sebuah tempat istirahat dan makan yang sederhana tapi nyaman dan rindang. Kebetulan lokasinya sudah berada di ketinggian dan di bawah ratusan pohon kelapa yang menjulang. Menikmati ayam kampung goreng dan es kelapa muda rupanya cukup membuat lapar dan dahaga kami terobati.
Menjelang sore, kami merayap menyusuri jalan berkelok-kelok menuju Kota Garut. Maghrib tiba, kami sudah tiba di Kota Garut. Perjalanan kami lanjutkan menuju Kota tercinta, Bandung nan damai......
Sampai ketemu kembali Pantai Ranca Buaya, Pantai Sentolo dan Pantai Sayang Heulang di Kecamatan Pameungpeuk, Garut Selatan yang masih alami dan belum tersentuh pembangunan yang memadai dari pemerintah dan investor. Semoga pada waktu-waktu mendatang, ketika kami kembali ke sini, keadaannya akan jauh berubah, menjadi lebih baik, terawat dan menggairahkan wisatawan, semoga (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar