Oleh Kabelan Kunia
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
(TQS. Al-Ankabuut, 41)
Bilamana kita memahami dan merenung lebih jauh pada ayat di atas kita pasti membayangkan bahwa keseluruhan isi dalam surat Al-Ankabuut (laba-laba) berisi atau menceritakan tentang laba-laba. Namun sebenarnya tidak demikian. Kita akan mendapatkan bahwa dari awal hingga akhir, surat tersebut memaparkan masalah lain dari persoalan laba-laba. Pada awal surat ini memaparkan tentang ujian-ujian yang diberikan oleh Allah terhadap orang-orang yang beriman dan membicarakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan laba-laba. Di akhir surat disampaikan berita baik kepada orang-orang yang berjihad di jalan Allah niscaya akan mendapatkan hidayah dari-Nya.
Dari 69 ayat pada surat laba-laba ini hanya pada ayat 41 menceritakan perihal laba-laba, bahkan dalam ayat inipun bukan laba-laba yang menjadi aktor utamanya, akan tetapi sarang laba-laba sebagai sabyek yang dijadikan kiasan untuk pelajaran bagi manusia.
Laba-laba termasuk hewan kecil pemangsa. Sarang laba-laba adalah tempat yang paling rapuh. Sarang laba-laba yang berupa jaring-jaring yang terangkai dengan unik dan menarik, ternyata bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan sulit untuk melarikan diri dan pada akhirnya harus rela untuk disergap dan menjadi santapan siang atau makanan penghantar tidur bagi si pemangsa ini.
Banyak serangga yang terperangkap dan menjadi mangsanya. Jangankan serangga yang sengaja ataupun tidak untuk berteduh di sarangnya yang akan dimangsa serta dicabik-cabik, laba-laba jantan pun yang telah berjasa mengawinimya untuk menghasilkan kokon sebagai cikal penyambung keturunnya pun di lahap dengan beringasnya.
Laba-laba kecil yang menetas dari kokon, saling bedesakan hingga dapat saling memusnahkan dan melangggar hak hidup suadaranya yang malang. Begitulah gambaran yang sangat mengerikan dari jenis hewan kecil yang satu ini.
Demikianlah Allah memberikan kiasan berupa sarang laba-laba sebagai suatu perumpamaan bagi mereka yang menolak Allah sebagai pelindung dan pembela yang lain daripada-Nya. Seolah-olah mereka itu berlindung di balik sarang laba-laba untuk mempertahankan diri daripada serangan musuhnya. Sudah barang tentu sarang laba-laba tidak berdaya membela dan menyelamatkan mereka. Bahkan dengan sangat eratnya sarang laba-laba tersebut memintal dan menggulung tubuhnya hingga tiba saatnya sang pemangsa mencabik-cabik tubuhnya, lalu dengan rakusnya menyantap hidangan gratis tersebut.
Di sekitar kita teramat banyak pribadi-pribadi yang tak lebih bahkan sangat menyerupai laba-laba ini. Manusia-manusia yang tidak peduli dan bahkan tak butuh untuk berpikir apa, dimana dan kapan ia harus makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah “siapa yang akan mereka jadikan mangsa.” Demikian tulis M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berkesan, Lantera Hati.
Jikalau kita menengok di sekeliling kita, tidak sedikit orang-orang yang tega “memangsa” teman bahkan saudaranya sendiri demi ambisi dan ego pribadinya. Kilau dunia begitu gemerlap di pelupuk mata mereka, seolah tak ada malam begitu senja menoreh.
Di tengah musibah dan malapetaka yang kini menggenangi sebagian kita yang direnggut pilu, betapa banyak “pemangsa” yang memanfaatkan kesempatan bahkan berebut menikmati buruannya. Mereka menyeruak dan menyusup dalam genangan air yang keruh sembari menyergap “buruannya”, lalu berteriak lantang menuduh siapapun. Kemudian mereka silih tuding dan menyalahkan satu sama lainnya. Tak satupun dari mereka yang merasa berhak untuk dipersalahkan.
Kelamnya langit di atas nusantara bertambah redup manakala tempat kita berlindung “tumbang” tak bertanggung jawab. Sesungguhnya kita telah salah membangun tempat berteduh dan khilaf memilih tempat berlindung. IMF kita jadikan “pelindung”, hingga menambah carut-marut perekonomian bangsa. PBB yang notabene adalah Yahudi (AS) telah kita daulat sebagai tempat “berteduh”, hingga memporak-porandakan tiang-tiang demokrasi dan keutuhan bangsa.
Sungguh, sekali lagi kita telah salah memilih. IMF, PBB, Amerika atau siapapun yang telah kita jadikan pelindung dengan janji diobral untuk meneduhi dan menyelamatkan kita dari keterpurukan, tak lebih bak jaring laba-laba. Begitu kita masuk, lalu terjerat. Semakin kita meronta, ikatannya makin melilit dan kitapun tak berdaya. Dengan leluasa kita diseret dan dicemplungkan bulat-bulat dalam perutnya yang kelaparan.
Bergulirnya masa, kian terangkai ketergantungan kita. Hutang kian tak terbilang plus bunga yang berundak-undak. Kita terhuyung lalu jatuh. Sang “penolong” menghibur dengan dalih pemberian longgar waktu pembayaran ditambah “kado” yang baru. Kita bangkit, tapi tangan kita bertaut kepada kayu rapuh. Semakin kita berpegang, berat tak terbebani, kemudian kita kembali terguling dan tak sadarkan diri.
Ironisnya, kita tidak pernah berpikir atau mungkin pikiran kita telah dimatikan, bahwa tanah dan segala sumber daya yang terkandung di dalamnya telah tergadaikan. Bahkan harga diri kita sebagai bangsa telah tercabik-cabik dan dinjak-injak secara membabi buta.
Kiranya hikmah dari kiasan pada ayat di atas patut kita renungkan. Kita mesti kembali berlindung dalam “rumah”-Nya dan bernaung di bawah “kaki”-Nya. Bukankah Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.?” (TQS. Al-Anfaal, 40). Kita harus menyadari kemampuan dan kekuatan kita. Sebagai bangsa kita sanggup dan mampu untuk tegak menengadah, karena di atas sanalah kuasa-Nya bersemayam dengan Maha Perkasanya. (Kabelan Kunia/ Penulis adalah Peneliti pada PP Bioteknologi- ITB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar