Oleh Kabelan Kunia
Hari ini sudah dipastikan sebagai peringatan Hari Kartini. Mulai dari Taman Kanak-kanak yang biasanya dirayakan dengan mewajibkan anak belia memakai pakaian nasional, pakaian tradisional ataupun asesoris yang berhubungan dengan kebaya, blankon dan lain-lain. Sebenarnya saya sangat bingung menghubungkan dengan perayaan hari Kartini dengan tetek bengek pakaian dan busana tradisonal. Apresiasi cinta tanah airkah? Atau karena RA Kartini di photo-photonya yang terpangpang di depan kelas waktu kita sekolah dulu menggunakan kebaya? Wah, kalau karena ini alasannya, kita semua rupanya harus dipertanyakan kewarasannya.
Sebenarnya perdebatan saya dengan perayaan hari Kartini ini bermula ketika istri saya sendiri sebagai salah seorang sosok wanita Indonesia yang mempertanyakan ketokohan Kartini sebagai seorang pahlawan Nasional sekaligus mencari kira-kira kontribusi apa yang Kartini lakukan terhadap bangsa Indonesia pada saat itu.
Waktu itu, saya tidak ngeh dengan argumentasi istri saya. Tapi setelah saya banyak merenung, membaca beberapa file sejarah RA Kartini kemudian menyaksikan fenomena anak bangsa terutama para wanita Indonesia yang berlindung dibalik RA Kartini dengan jargon emansipasi wanita dan sebagainya. Kesimpulan saya, bangsa kita sudah terjebak dalam kultus individu terhadap Kartini, mendewakan dan menganggap pemikiran beliau sangat maju dan parahnya emansipasi sudah diartikan menyimpang oleh sebagian besar wanita Indonesia.
Kalau saja kita mau membandingkan perjuangan RA Kartini dengan beberapa pahlawan wanita hebat, seperti di tanah Pasundan ada Dewi Sartika yang secara real jelas perjuangannya terhadap nasib para wanita pribumi khususnya di tatar Pasundan. Beliau mendidik dan menfasilitasi wanita pribumi dengan medirikan sekolah, yang sampai saat ini masih eksis di Bandung.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Bangsa ini juga punya pahlawan wanita pemberani yang berjuang mengusir penjajah dengan rencongnya, yaitu Cut Nyak Dien. Ada juga pahlawan dari Aceh yang tidak banyak ditulis di buku sejarah seperti Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah.
Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati (dikutip dari Artikel Adian Husaini).
Seorang sejarahwa Prof. Harsja W. Bachtiar menyebutkan seorang lagi tokoh wanita yaitu Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Pada akhirnya seperti tulisan Prof. Prof. Harsja W. Bachtiar, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Dewi Sartika atau Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Belanda memilih Kartini sebagai ikon emansipasi? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?
Kartini bahkan menurut saya, menyimpulkan dari beberapa tulisan sejarah telah 'berselingkuh' dengan penjajah, yaitu Belanda. Maka tidak aneh kalau kemudian tulisan dalam suratnya banyak diekspos dan diterbitkan oleh orang Belanda, yang notabene sahabatnya. Menurut saya agak aneh kalau seorang pribumi pada saat itu, dimana sebagian besar anak bangsa berjuang mengangkat senjata mengusir Belanda, sedang RA Kartini justru 'bermesraan' denga Nyonya Belanda untuk curhat tentang tanah airnya.
Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini, apalagi berkirim surat dengan orang Belanda. Cut Nyak Dien berani mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan tanah airnya yang ditindas Belanda, sampai akhirnya dia harus diusir dan meninggal.
Maka pada akhirnya saya mengajak kita semua anak bangsa merenungi fakta sejarah dan logika yang terkandung di dalamnya. Berhentilah kita mengkultuskan Kartini. Berhentilah kita memuja emansipasi yang sudah jelas merupakan tipu daya Barat untuk memecah umat Islam.
Semoga bermanfaat. Mohon maaf buat para aktifis Emansipasi Wanita Indonesia.
3 komentar:
baru tahu tuh kalau ibu kartini tuh ampe seteg itu selingkuh ma belanda......
wah aq ragu sebenarnya tentang kebenaranya...
Sejarah tidak pernah netral, selalu bias kekuasaan. Diskursus gugatan terhadap kepahlawanan Kartini, sudah berlangsung sejak lama, bermuara pada siapa penguasa yang menuliskan sejarah itu. Ya, orang jawa...
Tulisan saya di atas tidak ada maksud sedikitpun 'menuduh' golongan dan suku manapun di Indonesia ttg keberpihakan kita kepada fakta sejarah yang sesugguhnya. Tapi harapan saya, kita sebagai bangsa harus arif juga memandang dan memahami sejarah. Jangan sampai sejarah membuat kita terkotak-kotak. Tidak aneh juga kalau orang Sunda misalnya cemburu, karena wanita hebat seperti Dewi Sartika terabaikan dalam pecaturan sejarah kita, padahal jasa beliau tidak lebih kecil dari pengorbanan Kartini. Pun demikian dengan masyarakat Aceh, Sulawesi dan beberapa tempat lain yg pasti memiliki sosok pahlawan yang luar biasa. Sekali lagi mohon maaf bila ada salah tafsir atas tulisan saya ini.
Posting Komentar