Heni, Fawwaz dan Najla bediri di halaman rumah pengasingan Ir. Soekarno di Bengkulu |
Bengkulu -
Menjelang siang setelah puas menikmati indahnya suasana Pantai Panjang, kami
sekeluarga bergegas keluar mencari suasana dan objek lain yang akan dikunjungi.
Terfikirkan oleh kami untuk mampir ke rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu.
Konon, di sinilah Bung Karno diasingkan Belanda selama 4 tahun, sejak
tahun 1938 hingga 1942. Kami juga berencana berkunjung ke rumah tinggal Ibu Fatmawati yang tidak jauh dari tempat pengasingan Bung Karno. Dari informasi penduduk setempat, jaraknya tidak lebih dari 2 - 3 KM saja.
Selain Benteng Marlborough yang pernah kami
kunjungi 2 tahun yang lalu, Rumah Pengasingan Bung Karno menjadi destinasi
menarik saat traveling ke Bengkulu kali ini. Sembari merasakan panasnya kota
Bengkulu, berwisata sejarah sekaligus bisa bernostalgia dengan perjuangan Bung
Karno saat masa penjajahan Belanda.
Fawwaz, Najla dan Heni, bediri di rumah kediaman Bung Karno pada waktu pengasingan di Bengkulu |
Bangunan tua dengan arsitektur art deco jaman baheula yang dikenal dengan nama Rumah Pengasingan Bung Karno ini berada di tengah kota, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta, Kecamatan Gading Cempaka, Bengkulu. Perjalanan kami dari pantai tadi hanya 10 menit ditempuh untuk sampai di objek wisata sejarah yang menarik ini.
Kenapa Belanda terkutuk dulu mengasingkan sang Proklamator ke kota ini? Dulunya kawasan ini adalah daerah yang dianggap rawan malaria oleh Belanda. Dengan alasan itulah, Bung Karno dibuang ke tempat ini. Namun bukannya terkena penyakit malaria, Bung Karno malah gencar menyusun kekuatan dan dukungan untuk merebut kemerdekaan.
Selama di pengasingan ini, Bung Karno terus berjuang menularkan semangat pada masyarakat sekitar. Bung Karno juga sempat mendirikan Masjid Jami' di Jalan Soeprapto dan kelompok diskusi ilmiah bernama Debating Cerdas Club. Bung Karno juga pernah mendirikan kelompok sandiwara Monte carlo sebagai media untuk menyusun strategi agar kemerdekaan Indonesia tercapai. Bukti sejarah berupa baju-baju/ kostum yang biasa dipakai kelompok sandiwara untuk pertunjukan tonil tersimpan rapi di lemari dalam rumah sejarah ini.
Najla, Fawwaz dan Heni bediri di salah satu kamar dalam rumah pengasingan Ir. Soekarno di Bengkulu |
Awalnya, rumah ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa, Lion Bwe
Seng. Halamannya cukup luas dan rapi. Pintu dan kusennya pun masih asli dengan
desain khas Tionghoa. Di dalam bangunan, terdapat benda-benda bersejarah
peninggalan Bung Karno yang masih tertata rapi.
Satu demi satu koleksi terlihat jelas di dalam
rumah ini. Kami dapat melihat foto Bung Karno yang sedang berpidato terpajang
rapi di salah satu sudut bangunan. Di kamar Bung Karno, terdapat ranjang tempat
tidur beliau. Ada juga koleksi surat-surat cintanya kepada Fatmawati. Alkisah,
di sinilah Bung Karno mulai merasakan benih-benih cintanya kepada Fatmawati,
gadis asli Bengkulu putri seorang guru Muhammadiyah, begitu juga sebaliknya.
Melalui rumah pengasingan inilah mereka kemudian menikah.
Kami juga menyempatkan berfoto di depan sepeda ontel milik Bung Karno yang disimpan rapi dalam boks kaca. Untuk masuk ke rumah Bung Karno ini, pengunjung termasuk kami
dikenakan biaya Rp 2.500,- Sayangnya, dengan retribusi yang ada, pengelola
tidak berhasil memelihara dengan baik bukti sejarah ini. Sebagai sebuah
pembelajaran, terutama buat kedua putri kami, rasanya kunjungan ke rumah
pengasingan Bung Karno ini sangat menarik dan begitu berkesan.
Heni, Fawwaz dan Najla bediri di depan Sepeda ontel milik Ir. Soekarno di rumah pengasingannya di Bengkulu |
Rumah
Kediaman Ibu Fatmawati
Sebelum ke rumah pengasingan Bung Karno, kami
terlebih dahulu menyempatkan singgah ke rumah kediaman ibu Fatmawati sebelum menikah dengan
beliau. Lokasi rumah ibu Fatmawati cukup dekat dengan rumah pengasingan Bung
Karno yang berjarak kurang lebih 600 meter, atau tepatnya berada di Jalan
Fatmawati.
Rumah berwarna coklat dan berbentuk rumah
panggung yang merupakan ciri rumah tradisional masyarakat Sumatera. Seperti
rumah pengasingan Bung Karno, di rumah ini kami menemui banyak perabotan dan
barang-barang milik Ibu Fatmawati yang mengandung nilai sejarah, termasuk mesin
jahit yang dulu digunakan untuk menjahit bendera merah putih yang dikibarkan
saat Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
Rumah bersuasana hangat dengan dominasi warna cokelat tua ini banyak
menyimpan kenang-kenangan Ibu Fatmawati sejak masa kecil hingga gadisnya. Aku
dan istri menyempatkan berfoto di samping ranjang di kamar ibu Fatmawati. Di
ruang depan, terpampang foto bapak bangsa, Ir. Soekarno. Najla dengan penuh
semangat sembari mengepalkan tangan kanannya berteiak 'Merdeka", berfose
di depan foto Bung Karno yang gagah perkasa. Semoga putri kecil kami kelak
menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya seperti Ir. Soekarno, amin... (*Kabelan Kunia, Bengkulu 26/08/12)