Hari Raya Kurban. Pada hari ini kita disyariatkan berkurban, yaitu amalan yang sangat disukai Allah SWT. Menyembelih hewan kurban pada hari ini adalah wujud kesyukuran kita kepada Allah untuk membantu fakir miskin menikmati daging kurban yang disembelih secara serentak di berbagai tempat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Hajj ayat 28 bermaksud: "Maka makanlah sebahagian daripadanya dan Sebahagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir".
Tangis Anak Bangsa
Dalam beberapa waktu terakhir, kita dikejutkan oleh banyaknya peristiwa kekerasan dan keberingasan yang melibatkan para pemeluk agama. Intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian mengenaskan. Ironis, padahal bangsa Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan-sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang amat tinggi. Masihkah ada harapan untuk membangun kehidupan beragama yang damai, rukun, dan saling mengasihi?
Berbeda dengan tahun-tahun berlalu, kini, kita merayakan Idul Kurban dalam duka cita yang mendalam. Langit menangis, kelam mencekam di seantero raya. Noda hitam tercecer di tanah hitam yang kerontang. Jikalau jari jemari kita cukup untuk menghitung noda yang tak terbilang, maka tidaklah itu mampu mengurai tangis kita yang telanjur kikis.
Sementara teroris gentayangan, musibah dan bencana seperti tak lepas membayangi kehidupan kita sebagai bangsa. Banjir besar Wasior dan Tsunami menerjang Mentawai yang menelan korban nyawa dan harta, merupakan tragedi nasional yang mewarnai lembaran sejarah bangsa. Tangis anak negeri seolah tertumpah di sana bersama curahan hujan dan genangan air yang mencoba menutupi atap rumah dan keidupan mereka.
Tidak hanya sampai di sana, di tengah genangan air lumpur panas di Sidoarjo yang tak kunjung surut, hantaman jago merah ganas melahap rumah-rumah, kios-kios di banyak pasar tradisional dan hutan-hutan di berbagai pelosok daerah, sehingga kita terpaksa menjadi pengekspor asap terbesar di dunia. Erupsi dan letusan Merapi membahana menutupi dan membakar semangat kehidupan rakyat di lereng-lereng hingga berkilo meter jauhnya.
Memetik Hikmah
Anehnya, seringkali musibah dan bencana menimpa, kita kerap kali lupa menangani, malah semakin membuat kita malu, karena tidak bisa atau kita berlaku seperti tak terjadi apapun. Akhirnya musibah seperti tak aneh, lumrah dan biasa saja bilamana berulang menimpa. Sistem imun kita bekerja cepat sekali. Begitu kejadian bencana datang, seringkali hadirnya membuat kita kebal dan nyaris tak terusik. Kita tak hirau dengan orang lain yang terusik. Ironisnya, pemerintah menyikapi dingin dan menganggap semua hanya sekedar bencana alam.
Masih adakah air mata kita untuk meratapi nasib bangsa yang diwarnai dengan tinta hitam, kelabu dan pucat tanpa roh ini? Rintihan dan ratapan anak bangsa seolah tak usai menangisi sejarah kelam-mencekam.
Rangkaian musibah tak pernah putus seakan akrab mengangkangi kehidupan bangsa yang kian kusut. Lembar demi lembar telah terbuka untuk kemudian tersobek-sobek, hingga meninggalkan duka nestapa yang mendalam. Genangan duka cita memenuhi haru-birunya hati sehingga sulit utuk bangkit dan beranjak mengarungi lautan hidup dengan ombak yang mengganas. Ketidaksanggupan menyergap, sementara riak bahkan hembusan badai kian menghantam.
Demikian Allah mengingatkan manusia yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah peradaban dunia. Inilah legitimasi atas hasrat mereformasi hati dan kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat suatu bangsa.
Tidak kita pungkiri bangsa ini telah porak-poranda diguncang musibah dan bencana. Rakyat sudah mulai jenuh dan ‘sebel’ dengan keadaan yang tidak pernah sembuh. Bahkan luka itu makin menganga. Kesemerawutan makin kentara. Nurani rakyat kian terhimpit. Tidak dipungkiri ketika tekanan begitu membludak, maka ledakan kemarahan akan makin menjadi dan merata.
Dalam gemuruh bencana di mana-mana, marilah bersama kita merenungi keberlanjutan cita bangsa. Bangsa kita harus bangkit mesti dengan tenaga seadanya.
Sesungguhnya tragedi yang menimpa benar-benar telah menjatuhkan derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Semuanya adalah musibah dan bencana yang cikalnya telah kita awali. Seyogianya kita renungi bersama. Mulailah kita menyusun dan menata cermin dalam barisan yang sepatutnya. Ketika bencana telah melanda, hendaknya kita mulai berkaca, mengamati kesalahan, kelalaian bahkan kebodohan kita sepanjang waktu terurai.
Boleh jadi alam tidak menyapa akrab. Banjir, longsor, badai hingga letusan gunung mungkin akan terus mengusik ketenteraman seiring dentuman bom, granat dan peluru nyasar lainnya. Tentu saja kita tetap optimis bahwa bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang toleran, damai, dan konstruktif. Dan menjadi tugas kita para penganut agama-agama yang berkemauan untuk beragama secara saleh, untuk mendamaikan dan menabur keselamatan demi kepentingan semua umat manusia. (Kabelan Kunia/ Bandung)
Tangis Anak Bangsa
Dalam beberapa waktu terakhir, kita dikejutkan oleh banyaknya peristiwa kekerasan dan keberingasan yang melibatkan para pemeluk agama. Intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian mengenaskan. Ironis, padahal bangsa Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan-sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang amat tinggi. Masihkah ada harapan untuk membangun kehidupan beragama yang damai, rukun, dan saling mengasihi?
Berbeda dengan tahun-tahun berlalu, kini, kita merayakan Idul Kurban dalam duka cita yang mendalam. Langit menangis, kelam mencekam di seantero raya. Noda hitam tercecer di tanah hitam yang kerontang. Jikalau jari jemari kita cukup untuk menghitung noda yang tak terbilang, maka tidaklah itu mampu mengurai tangis kita yang telanjur kikis.
Sementara teroris gentayangan, musibah dan bencana seperti tak lepas membayangi kehidupan kita sebagai bangsa. Banjir besar Wasior dan Tsunami menerjang Mentawai yang menelan korban nyawa dan harta, merupakan tragedi nasional yang mewarnai lembaran sejarah bangsa. Tangis anak negeri seolah tertumpah di sana bersama curahan hujan dan genangan air yang mencoba menutupi atap rumah dan keidupan mereka.
Tidak hanya sampai di sana, di tengah genangan air lumpur panas di Sidoarjo yang tak kunjung surut, hantaman jago merah ganas melahap rumah-rumah, kios-kios di banyak pasar tradisional dan hutan-hutan di berbagai pelosok daerah, sehingga kita terpaksa menjadi pengekspor asap terbesar di dunia. Erupsi dan letusan Merapi membahana menutupi dan membakar semangat kehidupan rakyat di lereng-lereng hingga berkilo meter jauhnya.
Memetik Hikmah
Anehnya, seringkali musibah dan bencana menimpa, kita kerap kali lupa menangani, malah semakin membuat kita malu, karena tidak bisa atau kita berlaku seperti tak terjadi apapun. Akhirnya musibah seperti tak aneh, lumrah dan biasa saja bilamana berulang menimpa. Sistem imun kita bekerja cepat sekali. Begitu kejadian bencana datang, seringkali hadirnya membuat kita kebal dan nyaris tak terusik. Kita tak hirau dengan orang lain yang terusik. Ironisnya, pemerintah menyikapi dingin dan menganggap semua hanya sekedar bencana alam.
Masih adakah air mata kita untuk meratapi nasib bangsa yang diwarnai dengan tinta hitam, kelabu dan pucat tanpa roh ini? Rintihan dan ratapan anak bangsa seolah tak usai menangisi sejarah kelam-mencekam.
Rangkaian musibah tak pernah putus seakan akrab mengangkangi kehidupan bangsa yang kian kusut. Lembar demi lembar telah terbuka untuk kemudian tersobek-sobek, hingga meninggalkan duka nestapa yang mendalam. Genangan duka cita memenuhi haru-birunya hati sehingga sulit utuk bangkit dan beranjak mengarungi lautan hidup dengan ombak yang mengganas. Ketidaksanggupan menyergap, sementara riak bahkan hembusan badai kian menghantam.
Demikian Allah mengingatkan manusia yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia sebagai faktor penentu kelahiran sejarah peradaban dunia. Inilah legitimasi atas hasrat mereformasi hati dan kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat suatu bangsa.
Tidak kita pungkiri bangsa ini telah porak-poranda diguncang musibah dan bencana. Rakyat sudah mulai jenuh dan ‘sebel’ dengan keadaan yang tidak pernah sembuh. Bahkan luka itu makin menganga. Kesemerawutan makin kentara. Nurani rakyat kian terhimpit. Tidak dipungkiri ketika tekanan begitu membludak, maka ledakan kemarahan akan makin menjadi dan merata.
Dalam gemuruh bencana di mana-mana, marilah bersama kita merenungi keberlanjutan cita bangsa. Bangsa kita harus bangkit mesti dengan tenaga seadanya.
Sesungguhnya tragedi yang menimpa benar-benar telah menjatuhkan derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Semuanya adalah musibah dan bencana yang cikalnya telah kita awali. Seyogianya kita renungi bersama. Mulailah kita menyusun dan menata cermin dalam barisan yang sepatutnya. Ketika bencana telah melanda, hendaknya kita mulai berkaca, mengamati kesalahan, kelalaian bahkan kebodohan kita sepanjang waktu terurai.
Boleh jadi alam tidak menyapa akrab. Banjir, longsor, badai hingga letusan gunung mungkin akan terus mengusik ketenteraman seiring dentuman bom, granat dan peluru nyasar lainnya. Tentu saja kita tetap optimis bahwa bangsa ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang toleran, damai, dan konstruktif. Dan menjadi tugas kita para penganut agama-agama yang berkemauan untuk beragama secara saleh, untuk mendamaikan dan menabur keselamatan demi kepentingan semua umat manusia. (Kabelan Kunia/ Bandung)