Selasa, Juni 21, 2011

Bandung Utara Kian Kritis


Berdiri di kebun kentang pada ketinggian 1000 m dpl
Berdiri di 'atap' Bandung aku memandang view Kota Bandung yang sumpek. Pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl ini, terhampar tanaman Kentang dan Brokoli.

Perbukitan yang gundul. Sudah tidak ada lagi pepohonan yang menjulang dengan akar yang mencengkeram air di dalam tanah. Pantaslah kalau Kota Bandung kesulitan air tanah.

Ratusan bahkan ribuan hektar lahan hutan dibabat di Bandung Utara untuk dijadikan lahan perkebunan kopi dan sayur-sayuran. Pencemaran kimia pun menggila. Berkarung-karung pupuk kimia dan pestisida ditumpahkan ke permukaan tanah di 'atap' Bandung ini. Bisa dibayangkan pencemar kimia dialirkan ke air tanah menuju padatnya pemukiman di bawahnya. Air itu kini setiap hari dikonsumsi manusia di Kota Bandung, termasuk kita warga Bandung dan anak cucu kita nantinya. Efeknya.... beberapa tahun ke depan penyakit kronis akan menyergap tubuh kita. Rumah sakit akan berjubel oleh warga dengan berbagai keluhan dan penyakitnya, Nauzubillah min zhaliq....

Masalah lingkungan hidup sudah saatnya diangkat sebagai masalah moral keberagamaan (religius), bukan lagi sekadar masalah manajemen. Kerusakan lingkungan lebih disebabkan nilai yang belum dihayati sepenuhnya oleh masyarakat. Tata nilai religius merupakan alat menghadapi krisis lingkungan hidup. Sejarah-sejarah klasik membuktikan ada korelasi antara keruntuhan sebuah peradaban dengan kerusakan lingkungan hidup. Semua peradaban jatuh karena eksploitasi sumber alam yang berlebihan. Jatuh bangunnya peradaban, merupakan jatuh bangunnya sistem-sistem politik yang memusatkan perhatiannya bagi kebesaran kekuasaannya.


Dari kenyataan itu, penyelesaian lingkungan hidup tidak akan berhasil jika hanya berlandaskan pemikiran duniawi. Harus ada kekuatan dan pendekatan religius. Sudah saatnya menghadapi krisis lingkungan yang parah saat ini, kita mulai mencoba mempertemukan antara akal dan iman. Keberdayaan akal harus dikendalikan dengan keberdayaan teologis (keberimanan). Tanpa keimanan ini, dunia akan dimarakkan oleh kemungkaran dan kerusakan merajalela.

Kebun Kentang di 'atap' Bandung (Bukit Utara Bandung)
Integrasi antara iman dengan tanggung jawab ekologis manusia tercermin pada peringatan Allah dalam Al Quran Surat Arr-Rum Ayat  41 - 42 berikut ini :
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, sehingga Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Katakanlah: adakanlah perjalanan di muka bumi, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."


Ayat tersebut memberikan dasar penguatan tentang sifat arogansi dan eksploitasi manusia yang menjadi penyebab timbulnya kehancuran lingkungan. Sedangkan bencana yang terkait dengan kerusakan lingkungan dijadikan sebagai model peringatan (pelajaran) Allah kepada manusia, dengan harapan agar manusia mau melakukan rekoreksi dan menyadari atas kekeliruan-kekeliruannya itu.


Rasulullah pernah bersabda,"Barangsiapa menanam tanaman, dia akan mendapat balasan pahala sesuai dengan banyaknya buah yang dihasilkan oleh tanaman itu."


Sabda Rasul ini jelas, bahwa manusia yang peduli pada sumber daya alam mendapatkan tempat mulia di sisi Allah. Peduli pada alam itu diwujudkan dalam kehidupan seperti mencegah tangannya dari praktik mengeksploitasi alam tanpa batas, dan tak kalah penting, menggalakkan reboisasi. Pahala yang dijanjikan Allah kepada pencinta lingkungan itu mengisyaratkan tentang betapa eratnya hubungan antara manusia dengan sumber daya alam (Dikutip dari tulisan Kabelan Kunia/ Pikiran Rakyat, 07012005 : Nilai-nilai Religius Solusi Krisis Lingkungan)