Rabu, Desember 23, 2009

Ibu Sebagai Pencerah dan Pengendali Peradaban

Memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2009

Oleh Kabelan Kunia*

Ibuku Maniah dan cucunya.

Bulan Desember, kembali kita diingatkan kepada sosok yang paling berjasa dalam kehidupan kita sebagai manusia, yaitu Ibu. Peringatan Hari Ibu memang biasanya sepi, tidak ada kegiatan khusus untuk merayakan hari yang istimewa ini. Secara seremonial, hari Ibu kerap ‘diupacarakan’ di Istana negara, tapi gemanya tidak dirasakan oleh ibu saya yang ada di sebuah desa sepi di ujung pulau sana.

Konon, Hari Ibu merupakan salah satu cara untuk menunjukkan apresiasi kita kepada ibu yang telah melakukan banyak hal untuk kehidupan kita. Merayakan hari Ibu menolong kita untuk melihat ke belakang dan mengingat betapa besar pengaruh kebaikan yang diberikan oleh orang yang kita panggil "ibu" dalam kehidupan.

Kedudukan seorang ibu dalam keluarga sangatlah strategis, khususnya dalam membangun pribadi-pribadi yang dipercayakan Tuhan kepada masing-masing keluarga. Bahkan di sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul, pintar, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan seorang ibu.

Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, mensosialisasikan, menanamkan dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan dan keterampilan dasar serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak manusia sejak dilahirkan bahkan sejak jabang bayi masih di kandungannya.

Dalam bahasa lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, pusat pembentukan nilai, atau penafsir makna kehidupan tak seorang pun menyangsikannya. Ibu memiliki jasa dan peran yang begitu besar dalam membangun bengsa dan negara. Rasulullah Muhammad Saw berkata, perempuan (ibu) adalah tiang negara. Bila mereka baik, maka baiklah negara itu. Sebaliknya, bila mereka rusak, maka rusaklah negara itu.

Namun demikian banyak orang yang menyepelekan peran ibu dalam membangun keluarga, terutama dalam mengurus anak-anak dan rumah tangga. Jika kita renungkan pekerjaan dan tanggung jawab yang biasa dilakukan oleh ibu, lalu kita membuatnya menjadi suatu daftar pekerjaan, maka barulah kita sadar betapa banyak tugas yang dikerjakan ibu dan betapa besarnya pengorbanan yang dilakukannya untuk itu.

Ibu bagaikan “sekolah” (pendidik) pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bayi yang baru lahir diperkenalkan dengan menyusui air susu ibu (ASI), diberi makan, diajarkan tengkurap, merangkak, berjalan, bergurau dan berbicara yang baik dan benar. Peran ibu akan terus berlanjut ketika si bayi beranjak besar, menyekolahkannya mulai dari TK hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Tidak sampai di situ, peran ibu sebagai orang tua, selalu mengarahkan, memberi semangat dan menasihati anaknya agar tidak keliru dalam melangkah di kemudian hari. Dalam lingkup internal, peran ibu sangat besar untuk menciptakan suasana keluarga yang segar, gembira, rukun dan tentram.

Di antara kewajiban seorang ibu yang harus dilaksanakan terhadap anak-anaknya ialah menanamkan perasaan cinta kasih dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, mengusir jauh-jauh sifat dan sikap benci dari jiwa mereka. Anak yang memiliki kepribadian sempurna ialah yang mencintai keluarga dan saudaranya, kasih sayang terhadap orang-orang fakir dan belas kasihan terhadap orang-orang lemah dan menjauhi orang-orang yang berakhlak rendah. Ibulah yang ‘membentuk’ kepribadian mulia itu.

* * * *

Arus modernisasi yang demikian deras mengikis dan menghanyutkan pranata-pranata hidup dan nilai-nilai luhur baku, agaknya memiliki imbas yang cukup kuat terhadap masyarakat dalam menginternalisasi dan mengapresiasi fungsi keluarga. Suasana ‘panas’ di luar rumah telah membawa pengaruh yang tidak kecil pada suasana di dalam rumah.

Bahkan, melalui media elektronik, kita telah mengangkut berbagai ‘kejahatan’, perilaku amoral dan budaya asing ke dalam rumah tanpa filter. Anak-anak dengan leluasa ‘belajar’ tentang arti sebuah kekerasan dan seksualitas dalam hidup. Dan itu sangat membekas.

Keagungan sebuah keluarga sebagai entitas sosial dalam menyosialisasikan nilai-nilai luhur kepada para anggotanya dinilai semakin luntur. Cara anggota masyarakat dalam mengapresiasi fungsi keluarga mengalami pergeseran dan perubahan. Keluarga tidak lagi sebagai ‘institusi’ yang menjadi satu-satunya wadah yang akomodatif dan adaptif terhadap selera dan atmosfer zaman yang sulit teraba.

Kondisi di atas setidaknya juga dipengaruhi oleh pergeseran peran orang tua, yang semula diyakini sebagai pihak yang betanggung jawab terhadap upaya pewarisan nilai dan tradisi luhur, kini telah tereduksi sebagai pihak yang secara biologis sekedar menghadirkan seorang manusia baru ke muka bumi. Bahkan dalam banyak hal, orang tua semata dipahami sebagai pihak yang hanya memiliki otoritas ekonomi dalam rentang waktu tertentu hingga anak dinilai dewasa.

Sejalan dengan itu, pandangan anak terhadap orang tua pun tidak lagi ‘sakral’ dalam bentuk penghormatan yang optimal dan proporsional. Hubungan anak dengan orang tua melulu sebagai hubungan darah ‘kekrabatan’ yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Tidaklah mengherankan kalau generasi sekarang menjadi sulit menerima petuah dan nasihat luhur orang tuanya.

Mereka telah memiliki “referensi” tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya. Makanya, tidak aneh bila di media tersiar kabar seorang anak tega menghabisi ibu kandungnya sendiri.

Faktanya, dalam kesuksesan ibu teladan yang dipuji sedemikian rupa, nyatanya tidak menggambarkan sebagian besar nasib ibu-ibu kita yang masih tenggelam dalam kemiskinan, kebodohan bahkan penindasan dan perlakuan diskriminasi yang menyayat. Tidak semua ibu (perempuan) mendapat kesempatan untuk mendapatkan peran sosial dan ekonomi yang diinginkan, termasuk dalam pendidikan. Alih-alih mengikuti kontes ibu teladan, bergerak leluasa di tanah yang merdeka inipun mereka seakan dibelenggu.

Stereotipe tentang perempuan terus didengung-dengungkan dan dilanggengkan dengan perayaan Hari Ibu. Sosok ibu yang begitu agung dipuji-puji, yang sesungguhnya menimbun banyak masalah yang tidak pernah terurai. Sosok ibu yang dekat dengan dapur dan urusan domestik senantiasa ditonjolkan. Ketika kegigihan ibu menuntut hak atas perannya sebagai warga negara, sosok ibu diremehkan, dikerdilkan, dilecehkan dan dijadikan semata-mata sebagai komoditas.

Hingga saat ini masih banyak kaum perempuan yang menjadi korban dalam lingkungan rumah tangga, tempat kerja dan masyarakat. Kekerasan, pelecehan seksual sampai perkosaan, tindak diskriminasi dan lain-lain masih menghantui kehidupan perempuan saat ini.

Masih tetap terjadi pemisahan antara perempuan kelas menengah dan perempuan kelas bawah. Terjadi perbedaan atas ibu terdidik dan tidak terdidik, ibu di kota dan desa, ibu yang berteduh di bantaran sungai, ibu yang bernaung di bawah jembatan, ibu yang pondoknya digusur dan banyak lagi ibu yang malang karena suaminya nganggur sebab habis di PHK. Diskriminasi terhadap perempuan masih berlaku walaupun dalam kemasan yang lebih cantik seiring dengan perubahan dalam cara berpikir masyarakat. Ibuku sayang, ibuku yang malang.

Kini, saatnya untuk menyadarkan mayoritas ibu (perempuan) bahwa penindasan yang dilakukan melalui sistem, juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan dari kelas yang lebih atas atau yang berada pada jajaran status quo. Secara sederhana, kita bisa mengkampanyekan dihentikannya segala stereotipe tentang perempuan dan menyadarkan mayoritas perempuan untuk membuang stereotipe yang sudah usang dan melepaskannya dari pola pikir kaum perempuan.

* * * *

Rumah tangga adalah benteng pertahanan pertama bagi para anggotanya dari serang-serangan non fisik lingkungan sekitarnya. Di luar, debu-debu materialisme, sekulerisme, anarkisme dan lain-lain siap mencabik-cabik kepribadian seseorang. Semua kita menjadi sasaran, bilamana benteng yang dibangun tidak kokoh menahan serbuannya.

Olehkarenanya, menghidupkan suasana ruhani yang islami dalam keluarga adalah pintu utama menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Dalam keadaan demikian, peran ibu menjadi sangat strategis dan dominan. Sosok ibu tidak saja dituntut perkasa di hadapan publik seperti yang banyak diperjuangkan oleh aktivis perempuan dalam slogan emansipasinya, dengan capaian prestasi seimbang dangan kaum pria, sekaligus tidak melenyapkan naluri keibuannya yang tetap menjaga kelembutan, sikap kasih sayang yang tulus terhadap suami dan anak-anak.

Dalam peran yang seimbang di luar dan di dalam keluarga, kaum ibu tetap akan mampu memaksimalkan perannya sebagai pencerah dan pengendali peradaban yang mengantarkan perahu bangsa ke pulau kesejahteraan yang beradab.
Demikian besar jasa kaum ibu, agama menetapkan, bahwa merekalah ‘kunci’ yang sangat menentukan apakah seseorang itu masuk surga atau neraka. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Al-jannatu tahta akdamil ummahat” (Surga itu terletak di bawah kaki ibu).

Selamat Hari Ibu, selamat pada para pemegang kodrat perempuan. Semoga Hari Ibu yang kita peringati kali ini akan selalu mendorong kita untuk berbuat baik kepada para ibu kita tercinta. Ibuku sayang, ibuku makin dipandang.

(*Pusat Penelitian Bioteknologi–ITB, seorang anak yang mencintai ibu dan merindukan pelukannya)